
TIKTAK.ID – Viral di media sosial potongan video Ade Rai yang menyebut cara bernapas berhubungan dengan tingkat stres. Ternyata yang dimaksud adalah bagaimana cara bernapas, bisa mencerminkan pikiran dan perasaan. Biasanya, orang yang marah atau sedih cenderung bernapas pendek-pendek melalui dada. Sebaliknya, orang yang tenang umumnya bernapas dengan tempo lebih panjang lewat perut.
“Napas kita ini kan biasanya cerminan dari gerak pikiran kita. Sebaliknya, gerak pikiran kita merupakan cerminan dari napas kita. Contohnya, saat Anda lagi marah, kesal, sebal, kecewa, itu biasanya napasnya pendek dan cepat. Sedangkan ketika Anda lagi senang, banyak rejeki, jatuh cinta misalnya, napasnya biasanya lebih panjang dan pelan,” ungkap Ade Rai, seperti dilansir detikcom, Selasa (14/2/23).
Ade Rai mencontohkan, orang yang merokok kerap mengalami kembang-kempis di bagian perut, bukan dada. Untuk itu, dia menilai orang yang merokok bisa merasa lebih relaks. Akan tetapi, bila pernapasan perut dilakukan sembari merokok, tentu saja ada risiko penyakit imbas masuknya nikotin ke dalam tubuh.
“Misalnya memiliki pasangan yang merokok dia lagi santai sendiri, apa yang dia lakukan? Dia merokok, ketika merokok perutnya pasti naik ke depan karena merokok itu relaxing. Masalahnya adalah saat rokok dinyalakan, nikotin masuk ke dalam pembuluh darah,” jelas Ade Rai.
Meski pernapasan perut lebih dianjurkan, tapi sebetulnya tidak ada yang salah dengan pernapasan dada. Untuk meluruskan pemahaman sejumlah warganet, Ade Rai mengatakan tidak melulu stres adalah hal buruk. Dia menganggap pada beberapa kondisi, stres justru diperlukan, misalnya untuk pembakaran lemak tubuh. Asalkan, lanjutnya, stres tidak terjadi terus-menerus.
“Sekali waktu kita harus stres, dan sekali waktu kita harus rileks. Tapi kalau stres yang berlebihan dan tidak ada henti-hentinya, itu disebut sebagai stres emosional,” tutur Ade Rai.
“Kadang-kadang ketakutan atau kecemasan mengenai masa depan yang enggak pasti, atau bahkan masa lalu yang sudah lewat tapi kita khawatir dan memiliki perasaan bersalah, menyesal, atau trauma. Itu bisa menjadi stres terus, enggak ada hentinya 24 jam tujuh hari terus saja begitu. Pada saat itulah kita maknai stres menjadi sesuatu yang berbahaya,” imbuhnya.