TIKTAK.ID – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj, mengklaim bahwa dirinya menyerahkan keputusan amendemen terkait batas masa jabatan presiden kepada partai politik.
“Dua periode, tiga periode itu tidak penting. Terserah kesepakatan partai politik,” ujar Said, seperti dilansir detik.com, Senin (6/9/21).
Said mengatakan amendemen konstitusi terkait batas masa jabatan presiden merupakan urusan partai politik dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ia menyebut masa jabatan presiden dua atau tiga periode bukan hal yang prinsipil, melainkan yang terpenting dari masa jabatan itu adalah pro rakyat.
Baca juga : Eks Pentolan FPI Banten Jadi Ketum Front Persaudaraan Islam
“Bagi fiqih, Islam bukan policy. Jadi mau dua atau tiga periode, yang penting adil, jujur, amanah, dan pro rakyat, itu yang penting,” tutur Said.
Kemudian Said menyatakan sempat bertemu dengan Ketua MPR Bambang Soesatyo dan Menteri Koordinator bidang Perekonomian sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto. Ia mengaku dalam pertemuan tersebut, mereka berdiskusi soal amendemen. Meski begitu, ia menilai forum itu hanya bersifat pribadi, bukan agenda resmi PBNU dengan MPR.
“Informal saya ketemu dengan Pak Bamsoet, berbincang-bincang [soal amendemen] iya, ketemu Pak Airlangga berbincang-bincang. Tapi informal, jadi secara pribadi saja,” terang Said.
Baca juga : PP Bamusi Sayap PDIP Sebut Fatwa ‘Sesat’ MUI Picu Kekerasan
Menurut Said, ketika Bamsoet bertamu ke kantor PBNU, ia menunjukkan hasil keputusan musyawarah ulama nasional tahun 2013 di pondok pesantren Kempek, Cirebon. Ia menjelaskan, keputusan tersebut mengimbau agar presiden, gubernur, bupati/wali kota kembali dipilih oleh MPR, DPR, atau DPRD.
“[Keputusan ulama itu] sekadar masukan, namun tak bisa sampai bicara presiden tiga periode. Enggak sampai bicara ke situ,” tegasnya.
Lebih lanjut, Said menganggap bahwa keputusan musyawarah ulama itu bukan agenda politik, tapi hasil kajian berdasarkan kitab kuning. Ia menerangkan, dalam musyawarah tersebut para ulama sudah mempertimbangkan biaya yang tinggi (high cost) yang mesti dikeluarkan, saat para pemimpin eksekutif dipilih melalui pemilihan langsung.
Baca juga : Penyidik KPK Nonaktif Beberkan Harun Masiku Masih di Indonesia
“Melihat, menimbang, kenyataannya high cost, di samping cost duit, cost uang, cost financial, serta cost social. Risikonya pun sangat tinggi sekali, (bagi) umat Islam atau bangsa Indonesia,” imbuhnya.