Resolusi parlemen, tidak seperti undang-undang, tidak mengikat Pemerintah. Namun Perdana Menteri Irak Adel Abdul Mahdi sebelumnya memang sudah meminta parlemen untuk mengakhiri kehadiran pasukan asing.
Pemungutan suara dilakukan dua hari setelah serangan udara AS menewaskan Jenderal Iran Qassem Soleimani di bandara Baghdad. Situasi ini secara dramatis meningkatkan ketegangan regional dan meningkatkan kekhawatiran terjadinya perang. Iran telah berjanji untuk membalas setimpal pembunuhan Qassem Soleimani, dan bukan mustahil pembalasan itu bakal terjadi di dalam negeri Amerika sendiri.
Berbicara di awal sesi, Perdana Menteri Adel Abdul Mahdi mengatakan dia merekomendasikan parlemen untuk mengambil langkah-langkah mendesak memulangkan pasukan asing, suatu langkah yang menurutnya adalah demi kepentingan Irak dan Amerika Serikat.
“Terlepas dari kesulitan internal dan eksternal yang mungkin kita hadapi, itu tetap jalan terbaik bagi Irak secara prinsip dan praktis,” kata Abdul Mahdi dalam pidato parlemennya.
Abdul Mahdi menyebut pembunuhan terhadap Letnan Jenderal Qassem Soleimani dan pemimpin milisi Irak Abu Mahdi al-Muhandis oleh Amerika sebagai pembunuhan politik.
Resolusi di hadapan parlemen pada Minggu ini secara khusus menyerukan untuk mengakhiri perjanjian dengan Washington tentang pengiriman pasukan ke Irak lebih dari empat tahun yang lalu, yang diklaim untuk membantu Irak melawan kelompok ISIS.
Permintaan itu diajukan pada Minggu oleh kelompok terbesar di badan legislatif, yang dikenal sebagai Fatah. Kelompok itu termasuk para pemimpin yang terkait dengan The Popular Mobilization Force (PMF) atau al-Hashd ash-Shaabi yang merupakan kekuatan para-militer utama yang melawan ISIS di Irak.
Sementara itu, koalisi militer pimpinan-AS di Irak pada hari yang sama mengumumkan bahwa pihaknya menghentikan operasi mereka sementara waktu untuk fokus melindungi pasukan dan pangkalannya.
Koalisi mengatakan mereka menangguhkan pelatihan pasukan Irak dan operasi lainnya yang sebelumnya diklaim untuk mendukung perang melawan ISIS.