Direktur think tank Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa, Mark Leonard mengatakan, Boris menghadapi pilihan strategis yang sangat besar.
“Selama beberapa dekade, fondasi kebijakan luar negeri Inggris bertumpu pada dua pilar: Inggris telah menjadi anggota UE yang berpengaruh; itu juga merupakan bagian dari aliansi transatlantik, dengan NATO dan AS pada intinya,” sebut Mark.
Namun kini, Inggris pasca-Brexit akan bebas untuk menjalin hubungan ekonomi baru dengan Uni Eropa dan AS, sambil mempertahankan keseimbangan diplomatik yang memungkinkannya untuk menjadi perantara kekuatan antara keduanya.
Namun, ketika Amerika dengan Presiden Trumpnya semakin jauh dari agenda Eropa terkat begitu banyak masalah besar -mulai dari perubahan iklim hingga keterlibatan Iran dengan China- setiap keputusan yang diambil Boris yang menguntungkan salah satu pihak berisiko mempererat hubungan dengan yang lain.
Sementara itu, Boris sudah membuat navigasi bagi China yang membentang di seluruh Eropa.
Padahal, masalah antara Uni Eropa dan China adalah masalah akut. Di satu sisi, ekonomi Eropa yang mandek mendapat manfaat dari investasi Cina. Di sisi lain, investasi itu diikuti dengan potensi risiko keamanan yang memungkinkan perusahaan-perusahaan milik negara China beroperasi di Eropa. Dan itu berimplikasi pada pertukaran informasi intelijen Eropa dengan sekutunya, seperti AS.
Halaman selanjutnya…