TIKTAK.ID – Direktur Riset Habibie Center, Dewi Fortuna Anwar menyoroti indeks demokrasi di Indonesia yang terus merosot sejak 2015 silam. Dewi mengutip data Economical Intelligence Unit (EUI) yang menyatakan bahwa indeks penilaian demokrasi Indonesia pada 2015 memegang skor 7,03, sedangkan pada 2020 hanya memperoleh angka 6,30 poin.
Kemudian Dewi mengkritik kondisi di Indonesia yang mereduksi nilai demokrasi hanya sebatas telah menyelenggarakan Pemilu. Dia lantas mengingatkan dengan nada menyindir, bahwa Adolf Hitler pun memimpin Jerman usai terpilih dalam Pemilu.
“Jadi jangan kita mereduksi hal-hal demokrasi dengan hanya sekadar Pemilu. Hitler juga terpilih secara elektoral dulu, menang Pemilu dia. Namun dia menjalankan politik yang tidak demokratis,” terang Dewi dalam webinar Habibie Center, Kamis (11/10/21), seperti dilansir CNN Indonesia.
Baca juga : Di-roasting Kiky, Anies Baswedan: Untung Pakai Baju Pemadam, Jadi Tahan Panas
Dewi pun mengatakan demokrasi yang substantif adalah bentuk perlindungan kepada masyarakat, baik perlindungan terhadap hak sipil, hak politik, dan lainnya.
Tidak hanya itu, berdasarkan data Freedom House Democracy Index, skor penilaian hak politik dan hak sipil Indonesia diketahui juga semakin turun, terhitung sejak 2017 sampai 2021. Hak politik Indonesia pada 2017 disebut mendapat poin 31/40, sedangkan hak sipil sebesar 34/40.
Sementara pada 2021, hak politik Indonesia menurun menjadi 30/40, terlebih hak sipil merosot tajam menjadi 29/40.
Menanggapi hal itu, Dewi berpendapat tanpa perlindungan terhadap hak sipil dan hak politik, maka suatu negara atau pemerintahan tidak bisa disebut demokratis.
Baca juga : Relawan Kawan Sandi Banjarmasin Deklarasi Dukung Sandiaga Uno Capres 2024
“Demokrasi itu memang [ada] pemilihan, ada yang berkontestasi, serta yang menang diberi hak berkuasa. Namun prinsip demokrasi bukan winner takes all, [lalu] yang kalah dimarjinalkan,” jelas Dewi.
Lebih lanjut, Dewi menyinggung mengenai indikasi kemunculan oligarki saat ini. Dia menilai penting untuk memegang prinsip majority rules, minority rights. Dia menerangkan, hal itu berarti kelompok mayoritas mempunyai kesempatan untuk menentukan kebijakan yang dibutuhkan, tapi pada saat bersamaan kelompok minoritas juga tetap diberi haknya.
“Jadi bukan untuk oligarki, dan bukan untuk hegemoni winner takes all. Sebab, winner takes all itu tidak demokratis,” tegas Dewi.