
TIKTAK.ID – Joko Widodo dikenal sebagai salah satu Presiden RI yang kencang dalam melakukan pembangunan infrastruktur. Jalan tol dibangun, bandara dipercantik, pelabuhan diperbanyak, tak tanggung, Ibu Kota baru pun direncanakan untuk didirikan, semua dilakukan dalam kerangka “Indonesia Maju” yang menjadi visinya. Bukan hal aneh jika Jokowi kerap dijuluki sebagai “Bapak Infrastruktur”.
Begitu masifnya pembangunan infrastruktur di era Jokowi ini juga dibarengi dengan makin maraknya konflik horizontal atas dasar agama, baik kasus baru, maupun kasus yang sudah lama mangkrak hingga kini tak menemui solusi.
Sejumlah massa mendatangi Gereja Katolik Paroki Santo Joseph, kota Tanjungbalai, Karimun, Kepulauan Riau pada Kamis (6/2/20), untuk menolak renovasi bangunan gereja yang sedang dilaksanakan. Massa dari Aliansi Peduli Kabupaten Karimun (APKK) dan Forum Umat Islam Bersatu (FUIB) menuding pihak gereja melanggar kesepakatan penundaan pembangunan yang telah dibuat sebelumnya. IMB gereja tersebut sebelumnya digugat dan sedang diproses di PTUN. Dalam aksi tersebut muncul usulan relokasi dari massa.
Koordinator APKK, Hasyim Tugiran, menyampaikan bahwa tidak ada maksud untuk bersikap intoleran dalam aksi tersebut.
Baca juga: Gerindra Manut Jokowi Soal Reshuffle, Isyarat Prabowo Akan Diganti?
“Tidak ada kami melarang-larang. Kalau untuk beribadah silakan, seperti gereja lainnya di Karimun, tidak ada yang mengganggu atau melarang. Hanya saja, proses pembangunan ini kan dalam tahapan di PTUN, jadi hormati proses yang sedang berlangsung,” kata Hasyim seperti dilansir Tempo.
Komentar berbalik datang dari Ketua Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan (HAAK) Keuskupan Pangkalpinang, Romo RD Agustinus Dwi Pramodo, ia menganggap bahwa aksi penolakan pembangunan gereja merupakan bentuk intoleransi, ia juga menyatakan bahwa ada persekusi terhadap panita pembangunan gereja.
“Melarang dan memprotes renovasi total gereja dan pastoran Paroki Santo Joseph yang telah berdiri sejak tahun 1928 itu masuk kategori intoleransi. Apalagi ada aksi-aksi persekusi terhadap panitia pembangunan gereja,” kata Romo Agustinus, Sabtu (15/2/20), seperti dilansir Kompas.
Sengketa pembangunan gereja ini diketahui telah bergulir sejak 2013, dan masih berlanjut hingga kini.
Di Jawa Timur, terjadi kasus serupa, kaum minoritas Syiah diusir dari kampung halamannya di Kabupaten Sampang sejak 2012. Jemaat Syiah tersebut dipaksa mengungsi ke rumah susun milik Pemprov Jatim di Kabupaten Sidoarjo karena ditolak keberadaannya oleh warga mayoritas Sunni di Sampang.
Baca juga: Kuasa Hukum Terdakwa Kasus Ancaman Penggal Jokowi Sebut Kliennya Tak Punya Rencana Makar
Soekarwo yang pada saat kejadian sedang menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur mengaku tidak bisa lagi mengupayakan kepulangan warga Syiah ini ke kampung halamannya.
“Yawis, mandek seperti itu, karena di sana nggak ada yang mau menerima,” kata Soekarwo di kantor DPRD Jawa Timur pada Kamis (8/11/18), seperti dilansir KBR
Tak cukup sampai di situ, nasib tragis pengungsi Sampang ini masih harus dipaksa menerima kenyataan: “Diusir saat masih hidup, sudah mati pun ditolak”. Rabu (12/2/20) lalu, Ibu dari pemimpin Syiah Sampang, Umah Binti Maruki meninggal dunia. Sang anak, Tajul Muluk, berkeinginan untuk memakamkan ibunda di tanah kelahirannya di Sampang, namun lagi-lagi terjadi penolakan.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, Fatkhul Khair, menyesalkan sikap warga Sampang yang menolak pemakaman Umah binti Maruki.
Fatkhul berkesimpulan bahwa Negara telah gagal untuk melindungi hak asasi manusia yang dimiliki oleh tiap individu warganya.
“Negara belum berhasil melindungi kelompok minoritas,” Kata Fatkhul (14/2/20), dilansir Tempo.
Itulah beberapa fakta 6 tahun pemerintahan Jokowi, yang tampak terlalu sibuk membangun infrastruktur namun mengabaikan kebhinekaan.