TIKTAK.ID – Sebentar lagi kita akan memasuki bulan Ramadan. Biasanya, Pemerintah bakal menggelar sidang isbat (penetapan) awal Ramadan untuk menentukan kapan ibadah puasa dimulai. Saat ini para perukyat hilal telah dibantu teknologi modern.
Menurut Prof Dr Thomas Djamaluddin, MSc, ahli astronomi dan astrofisika dari Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), para perukyat kini memakai teleskop yang umumnya sudah dilengkapi otomatisasi komputer. Dia mengatakan alat itu dapat langsung mengarah ke posisi Bulan.
“Dulu saat belum ada teknologi optik, hanya bisa mengarahkan agar pengamat fokus melihat ke arah tertentu. Jadi hanya ada alat untuk fokus. Kemudian teknologi teleskop berkembang sehingga bisa membantu apakah cahaya yang dilihat benar hilal atau bukan,” ungkap Prof Djamal ketika live Instagram “Penentuan Ramadan dan Hari Raya Menurut Astronomi” di akun Instagram @pussainsa_lapan, Rabu (23/3/22) sore, seperti dilansir detik.com.
Meski begitu, Prof Djamal menilai teleskop ada tantangannya. Dia menjelaskan, fungsi teleskop adalah mengumpulkan cahaya, sehingga pengamatan hilal terkadang dapat terganggu oleh banyaknya cahaya masuk yang dikumpulkan oleh teleskop.
“Masalah utama dari rukyat hilal yakni cahaya hilal yang tipis sekali atau umurnya masih muda. Ini sering terganggu oleh cahaya senja, jadi hilal sulit diamati. Dengan memakai teleskop memang cahaya hilal diperjelas, namun cahaya senjanya juga diperjelas,” terang Prof Djamal.
Prof Djamal juga menyebut perukyat sebaiknya memakai kamera digital supaya citranya bisa diolah menggunakan perangkat lunak khusus untuk astronomi. Dengan begitu, kontrasnya bisa ditingkatkan.
“Kamera digital mampu merekam dan menangkap banyak gambar, lalu menggunakan software processing image, beberapa gambar ditumpuk untuk dibandingkan dan menampakkan hilalnya,” jelas Prof Djamal.
Prof Djamal menyatakan teknik menumpuk citra digital menjadi salah satu cara menampakkan citra lebih jelas. Akan tetapi, lanjutnya, bila penampakan hilalnya sangat tipis, dengan teknik ini pun seringkali hilal sulit terlihat.
Oleh sebab itu, dia menganggap perlu terdapat kriteria yang disepakati terkait ketampakan hilal, khususnya parameter tinggi Bulan minimal 2 derajat, atau beda tinggi Bulan-Matahari minimal 4 derajat (= tinggi Bulan 3 derajat) dan elongasi Bulan minimal 6,4 derajat di kawasan barat Asia Tenggara.