
Ia juga mendesak Kemenkumham agar memperketat pengawasan terhadap para narapidana dan melanjutkan, pembimbing kemasyarakatan juga harus bisa membantu untuk penempatan kembali, sehingga narapidana bisa kembali fungsi di masyarakat.
Sementara Ahli Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menilai persoalan residivisme yang dilakukan para narapidana program asimilasi dan integrasi menuntut pembenahan proses penindakan hukum di Indonesia. Ia berpendapat, salah satunya terkait pendekatan pemidanaan yang tak perlu lagi berdasarkan perspektif “balas dendam” atau tidak melulu berujung jeruji besi.
Menurutnya, untuk beberapa kasus tertentu pendekatan pemidanaannya bisa dengan mengedepankan restorative justice. Ia mencontohkan pada kasus narkotika, penggunanya tidak lagi mesti dipenjara, melainkan direhabilitasi.
Baca juga: Berikut Sanksi Bagi Warga yang Tetap Ngeyel Langgar Larangan Mudik
“Sehingga kita tidak perlu gila-gilaan membuat semua perundang-undangan ada sanksi pidananya,” tutur Bivitri.
Dengan begitu, Bivitri berpendapat pembahasan soal lembaga pemasyarakatan ataupun rumah tahanan tidak melulu karena persoalan kelebihan kapasitas.
Residivis, lanjutnya, membuktikan pengurungan tidak efektif, karena begitu keluar ia akan mengulang lagi.
Di sisi lain, Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjen PAS, Rika Aprianti mengklaim memang ada narapidana program asimilasi dan integrasi yang menjadi residivis, namun jumlahnya sangat kecil.
Ia pun mengimbau masyarakat tidak panik karena kejadian tersebut tidak mewakili 37 ribu narapidana yang dibebaskan.







![Saat Masalah Kejiwaan Ferdy Sambo Dipertanyakan TIKTAK.ID - Belakangan ini kondisi kejiwaan tersangka pembunuhan berencana, Irjen Ferdy Sambo, menjadi sorotan. Beredar kesimpang-siuran yang mengklaim Sambo memiliki masalah kejiwaan. Hal itu disampaikan oleh Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ahmad Taufan Damanik. Kemudian Taufan meluruskan isu itu. Dia menilai pernyataan dia sebelumnya dimaknai secara keliru dalam sebuah pemberitaan. Padahal, Taufan hendak menyampaikan kalau Sambo sudah melampaui abuse of power. "Salah nangkap, jadi maksudnya orang ini [Sambo] memiliki kekuasaan yang sangat besar. Dia Kadiv Propam, tapi dia juga mampu menggerakkan di luar lingkungan bawah Propam, bisa menggerakan di Metro Jaya, Reskrim," ujar Taufan, seperti dilansir CNNIndonesia.com, pada Kamis (15/9/22). "Inilah yang dimaksud melebihi abuse of power. Seseorang dengan kekuasaan tertentu di luar kekuasaannya," sambung Taufan. Taufan pun menduga karena Sambo merasa berkuasa, maka berani mengeksekusi ajudannya, Brigadir J di rumah dinas, Duren Tiga, Jakarta Selatan. Taufan bahkan menyebut Sambo jemawa bisa kebal hukum. Selain itu, kata Taufan, Sambo juga dapat mengerahkan puluhan polisi untuk menghilangkan barang bukti, merusak Tempat Kejadian Perkara (TKP), hingga menambah skenario palsu. "Itu kan artinya orang ini sangat percaya diri kalau tindakan kejahatannya tidak akan terbongkar," jelas Taufan. Sebelumnya, beredar informasi soal Sambo mempunyai masalah kejiwaan. Dalam suatu pemberitaan nasional, hal itu disampaikan oleh Taufan. Seperti diketahui, Brigadir J tewas ditembak di rumah dinas Sambo pada 8 Juli lalu. Polisi sudah menetapkan lima tersangka, yakni Sambo, Putri, RR, RE dan KM. Kelimanya dijerat dengan Pasal 340 subsidair Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 KUHP juncto Pasal 56 KUHP. Empat tersangka sudah ditahan, sedangkan Putri masih menunggu pemeriksaan selanjutnya. Tidak hanya itu, polisi juga menetapkan tujuh orang tersangka terkait obstruction of justice dalam kasus ini, yaitu Irjen Ferdy Sambo, Brigjen Hendra Kurniawan, Kombes Agus Nurpatria, AKBP Arif Rahman, Kompol Baiquni Wibowo, Kompol Chuck Putranto, dan AKP Irfan Widyanto. Mereka diduga telah melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 dan/atau Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (1) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau Pasal 221 ayat (1) ke 2 dan 233 KUHP juncto Pasal 55 KUHP dan/atau Pasal 56 KUHP.](https://i0.wp.com/www.tiktak.id/wp-content/uploads/2022/09/AHY1.jpg?resize=130%2C130&ssl=1)

