Ia juga mendesak Kemenkumham agar memperketat pengawasan terhadap para narapidana dan melanjutkan, pembimbing kemasyarakatan juga harus bisa membantu untuk penempatan kembali, sehingga narapidana bisa kembali fungsi di masyarakat.
Sementara Ahli Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menilai persoalan residivisme yang dilakukan para narapidana program asimilasi dan integrasi menuntut pembenahan proses penindakan hukum di Indonesia. Ia berpendapat, salah satunya terkait pendekatan pemidanaan yang tak perlu lagi berdasarkan perspektif “balas dendam” atau tidak melulu berujung jeruji besi.
Menurutnya, untuk beberapa kasus tertentu pendekatan pemidanaannya bisa dengan mengedepankan restorative justice. Ia mencontohkan pada kasus narkotika, penggunanya tidak lagi mesti dipenjara, melainkan direhabilitasi.
Baca juga: Berikut Sanksi Bagi Warga yang Tetap Ngeyel Langgar Larangan Mudik
“Sehingga kita tidak perlu gila-gilaan membuat semua perundang-undangan ada sanksi pidananya,” tutur Bivitri.
Dengan begitu, Bivitri berpendapat pembahasan soal lembaga pemasyarakatan ataupun rumah tahanan tidak melulu karena persoalan kelebihan kapasitas.
Residivis, lanjutnya, membuktikan pengurungan tidak efektif, karena begitu keluar ia akan mengulang lagi.
Di sisi lain, Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjen PAS, Rika Aprianti mengklaim memang ada narapidana program asimilasi dan integrasi yang menjadi residivis, namun jumlahnya sangat kecil.
Ia pun mengimbau masyarakat tidak panik karena kejadian tersebut tidak mewakili 37 ribu narapidana yang dibebaskan.