Namun, sejumlah alumni Aksi 212 yang menamakan diri Mujahid 212 merespons negatif nama Ahok dalam daftar kandidat itu. Mereka pun mengusik lagi hukuman yang diterima Ahok karena dinilai menista agama.
Terkait rekam jejak Ahok sebagai eks narapidana, Trubus menyatakan hal tersebut tak berkaitan dengan kompetensinya. Apalagi, menurutnya Ahok sudah dihukum dan bukan seorang koruptor.
Meski begitu, Trubus menyebut munculnya penolakan merupakan hal yang wajar. Sebab, tidak ada satu pun pejabat publik yang benar-benar disukai semua kalangan.
“Sepanjang penolakan itu bukan dengan alasan politik identitas, karena dalam konteks negara majemuk politik identitas itu harusnya tidak relevan lagi,” jelas Trubus.
Sementara pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno berpendapat kemunculan Ahok sebagai calon pejabat publik pasti memunculkan resistensi dari kelompok alumni Aksi 212.
“Patut diingat, gerakan 212 ini untuk menghadang Ahok untuk jadi Gubernur DKI Jakarta, melawan orang yang dianggap menista agama. Jadi Ahok pasti terus akan dilawan,” terang Adi.
Namun, Adi menyatakan penunjukan Kepala Badan Otorita Ibu Kota baru itu merupakan sepenuhnya hak prerogatif presiden.
Presiden Jokowi sendiri pun tahu kebijakannya memunculkan nama Ahok tersebut akan menimbulkan riak-riak penolakan. Adi menilai langkah Jokowi itu untuk menguji sejauh mana dan sebesar apa resistensi terhadap mantan tandemnya saat memimpin DKI Jakarta pada 2012 lalu itu.