
TIKTAK.ID – Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) diketahui telah menerbitkan larangan ekspor CPO dan bahan baku minyak goreng, pada Kamis (28/4/22). Jokowi memutuskan hal itu untuk menurunkan harga minyak goreng di pasar dalam negeri dan meningkatkan pasokannya.
Kebijakan tersebut memang memiliki berbagai “efek samping”, salah satunya mengurangi penerimaan pajak ekspor. Meski begitu, Jokowi menegaskan bahwa kebijakan ini dibuat untuk kepentingan dalam negeri.
Jokowi pun mengatakan miris, karena RI sebagai produsen CPO nomor wahid dunia, tapi rakyatnya justru kesusahan minyak goreng, dari pasokan hingga harga.
Baca juga : Respons Riza Patria Soal Dirinya Disiapkan Gerindra Maju Jadi Gubernur DKI 2024
“Sebagai negara produsen minyak sawit terbesar di dunia, ironis kita malah mengalami kesulitan memperoleh minyak goreng,” terang Jokowi dalam pernyataannya lewat video, Rabu (27/4/22), seperti dilansir CNN Indonesia.
Jokowi mengatakan kebijakan itu tidak hanya mendapat perhatian masyarakat RI, namun juga dunia internasional. Sebab, berbagai negara bergantung pada pasokan minyak goreng Indonesia, termasuk India. Bahkan importir India protes karena pasokan minyak yang ditujukan ke negaranya menjadi terhambat akibat larangan tersebut.
Padahal, empat importir India menyebut sebanyak 290 ribu ton minyak nabati sedang ditujukan ke India. Oleh sebab itu, larangan Jokowi berpotensi membuat India kekurangan minyak nabati.
Baca juga : Mantan Koleganya Dituding ‘Antek Yaman’, Grace Natalie: Saya Bersaksi Tsamara Bukan Kadrun
“Kapal kami yang berbobot 16 ribu ton kini tertahan di Pelabuhan Kumai (Kalteng) di Indonesia,” ujar Direktur Pelaksana Gemini Edibles & Fats India Pvt Ltd, Pradeep Chowdhry yang mengaku membeli 30 ribu ton minyak sawit RI setiap bulannya, mengutip Reuters.
Berdasarkan rilis ASEAN Briefing, India, China, Pakistan, dan Spanyol yang merupakan pasar utama CPO RI, akan paling terdampak. Sekitar setengah dari konsumsi minyak sawit mentah India berasal dari Indonesia, tepatnya sebesar 8 juta ton per tahun. Dengan adanya larangan ini, maka minyak nabati, yang sudah berada pada titik tertinggi sepanjang masa, diperkirakan bakal meningkat lebih jauh.
Kemudian merek global juga diperkirakan turut terkena dampak larangan tersebut. Pada 2020 silam, Nestle membeli sebanyak 450 ribu ton minyak sawit dan minyak inti sawit dari Indonesia dan Malaysia. P&G memakai sekitar 650 ribu ton minyak sawit selama tahun fiskal 2020-2021 untuk beragam produk kategori kecantikan dan rumah. Sekitar 70 persen minyak sawitnya pun bersumber dari Indonesia dan Malaysia.