
TIKTAK.ID – Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan menginstruksikan menteri luar negerinya untuk menyatakan 10 duta besar, termasuk utusan Washington, “persona non grata” atas pernyataan bersama mereka yang mendesak pembebasan seorang tokoh oposisi yang dipenjara.
Dengan pernyataan itu maka, 10 duta besar itu harus hengkang dari Truki. Langkah itu diumumkan oleh presiden Turki saat pidato publik pada Sabtu (23/10/21), seperti yang dilansir RT news.
Tujuh dari duta besar tersebut mewakili NATO yang menjadi sekutu Turki dan pengusiran itu, jika dilakukan, akan membuka keretakan terdalam dengan Barat dalam 19 tahun kekuasaan Erdogan.
“Saya memberikan instruksi yang diperlukan kepada menteri luar negeri kami, saya mengatakan bahwa Anda akan menangani pengaduan terhadap 10 duta besar sesegera mungkin,” kata Erdogan.
Kemarahan Erdogan itu dipicu oleh pernyataan bersama, yang dirilis oleh 10 duta besar pada awal pekan ini. Para duta besar tersebut mendesak resolusi yang cepat dan adil untuk kasus Osman Kavala –seorang pengusaha dan dermawan Turki yang ditahan di penjara sejak akhir 2017.
Kavala menghadapi sejumlah besar tuduhan, termasuk dugaan pendanaan protes anti-Erdogan dan berpartisipasi dalam kudeta gagal pada 2016.
“Mereka harus tahu dan memahami Turki,” kata Erdogan, menuduh para utusan itu “tidak senonoh”.
“Mereka harus pergi dari sini pada hari mereka tidak lagi mengenal Turki,” tambah Erdogan.
Pada Selasa lalu, utusan Jerman, Kanada, Denmark, Finlandia, Prancis, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Swedia, dan AS dipanggil ke Kementerian Luar Negeri Turki atas pernyataan “tidak bertanggung jawab” mereka dalam “mempolitisasi kasus Kavala”.
Pernyataan bersama itu diterbitkan untuk menandai ulang tahun keempat penangkapan pertama Kavala. Pengusaha itu telah diadili dan dibebaskan dua kali atas tuduhan terlibat demonstrasi Gezi Park 2013 dan kudeta yang gagal 2016. Kavala seharusnya sudah bebas, namun Pemerintah Turki menolak pembebasannya dengan mengajukan tuduhan baru dan membuatnya tetap mendekam di tahanan.
Pendukung Kavala, percaya dia menjadi tahanan politik, yang ditargetkan atas pekerjaan hak asasi manusianya di Turki yang “semakin otoriter” setelah dipimpin Erdogan.










