
TIKTAK.ID – Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk segera mencabut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Desakan tersebut muncul karena Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional secara bersyarat.
“Karena telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK, maka sudah sepatutnya presiden melalui Perppu mencabut UU Cipta Kerja tersebut,” ujar Ketua Umum KSPSI, Mohammad Jumhur Hidayat, dalam keterangan tertulis, Minggu (20/2/22), seperti dilansir Kompas.com.
Kemudian Jumhur juga mendesak supaya isi aturan dalam UU Cipta Kerja dapat dikembalikan ke dalam aturan pada UU sebelumnya, termasuk UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Jumhur melanjutkan, hal itu berarti tidak perlu membahasnya kembali dari awal, karena jika dilakukan pembahasan dari awal, maka harus memenuhi kaidah aturan pembentukan UU.
Baca juga : Prediksi Ada Perang Buzzer di Pilpres 2024, PAN Beri Peringatan
“Di antaranya adalah mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat, terutama masyarakat terdampak seperti kaum pekerja,” terang Jumhur.
Sebelumnya, MK telah memutuskan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional secara bersyarat. Putusan tersebut pun dibacakan Ketua MK, Anwar Usman, lewat sidang uji formil UU Cipta Kerja yang disiarkan secara daring pada 25 November 2021.
“Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan,” ucap Anwar.
Baca juga : Tolak Menteri Rangkap Jabatan Kepala IKN, PKS: Jadi Contoh Buruk
Di sisi lain, Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Program Doktor Hukum Universitas Kristen Indonesia (HIMA PDH UKI), I Wayan Sudirta menilai putusan MK terhadap UU Cipta Kerja dari sudut positif, dapat dipresiasi. Akan tetapi, dia menganggap putusan MK dari sisi kepastian hukum tidak mudah dimengerti.
“MK sudah membuka lebar pintu partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Putusan MK itu tegas menyatakan partisipasi masyarakat harus dilakukan secara bermakna/meaningfull partisipation. Dari sudut pandang ini, masyarakat sebagai pemilik kedaulatan mendapat angin segar untuk berperan aktif dalam proses pembuatan hukum,” jelas Wayan dalam acara Webinar Diskusi Hukum (HIMA PDH UKI) di Jakarta, Sabtu (19/2/22), mengutip Tribunnews.com.