
TIKTAK.ID – Pakar Hukum Tata Negara, Asep Warlan Yusuf mengkritik urgensi wacana amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang akan memasukkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Asep mengatakan bahwa tidak ada urgensi atau kondisi darurat yang mengharuskan amendemen UUD 1945 tersebut dilakukan.
Asep juga menilai hal itu menjadi alasan pertama amendemen UUD 1945 tak perlu dilakukan.
“Belum ada urgensi yang sangat tinggi. Kan ada derajat normal, derajat tinggi, dan derajat mendesak. Bahkan, ujung-ujungnya ada dalam keadaan darurat, jadi kalau darurat, tidak lah. Mendesak pun memang dipertanyakan, apa sih urgensinya kita harus mengubah Undang-Undang Dasar,” ujar Asep, seperti dilansir Sindonews.com, Jumat (20/8/21).
Baca juga : Keluarga Ryan Jombang Tunggu Ketegasan Lapas untuk Bahar bin Smith
Menurut Asep, secara waktu pembahasan amendemen UUD 1945 bila dilakukan dalam waktu dekat ini tidak tepat. Sebab, ia menyatakan urgensi yang saat ini harus diselesaikan yaitu mengatasi kondisi ekonomi dan kesehatan yang tengah terpuruk akibat pandemi Covid-19.
“Menurut hemat saya dari substansi memang kita masih bisa perdebatkan perlunya ada GBHN, secara timing atau waktu tidak pas. Hal itu karena urgensi sekarang ini adalah mengatasi ekonomi yang sedang terpuruk. Meski ada 7 persen orang bilang itu kan sekadar angka, namun masyarakat sekarang sedang berat,” terang Asep.
“Kedua, sedang menangani Covid-19 ini, dan kalau bicara Covid-19, berarti perlu konsentrasi dari semua lembaga-lembaga negara, supaya kita bisa lepas merdeka dari Covid-19 ini,” imbuhnya.
Baca juga : Ngotot Minta Perpanjangan Penahanan Rizieq Dibatalkan, Kuasa Hukum: Kalau Tidak, Kami Tuntut di Akhirat
Kemudian Asep menganggap tidak ada jaminan bahwa pembahasan amendemen UUD 1945 tidak akan melebar dan meluas ke mana-mana. Ia pun menyebut pembahasan amendemen UUD 1945 ini dapat menjadi pintu masuk wacana mengenai masa jabatan presiden menjadi tiga periode seperti yang sudah santer di publik saat ini.
“Jangan-jangan ini adalah pintu masuk mereka untuk nanti melebar juga ke sana. Kan tidak ada jaminan, kita makan bersama hari ini, tapi besok jadi lawan dalam politik. Jadi, hari ini mengatakan bahwa yang diubah TAP MPR, besok lusa di MPR berubah sekalian saja dengan masa jabatan presiden jadi tiga periode, bisa jadi melebar,” tegas dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) tersebut.