TIKTAK.ID – Ribuan penduduk desa Myanmar terpaksa harus tinggal di bawah tenda darurat di sepanjang sungai yang berbatasan dengan Thailand. Mereka takut untuk kembali ke rumah mereka setelah dibombardir dengan serangan udara oleh junta militer Myanmar.
Pertempuran sengit antara militer Myanmar, yang merebut kekuasaan melalui kudeta tahun lalu, dan pejuang perlawanan telah membunuh atau membuat ribuan warga sipil telantar di wilayah ini dan di tempat lain, seperti yang dilansir Al Jazeera, Sabtu (8/1/PL22).
Banyak warga Myanmar yang telah melarikan diri ke Thailand, tetapi kondisi yang buruk di kamp-kamp pengungsi di sana telah mendorong beberapa untuk kembali ke sisi perbatasan Myanmar, dan kelompok-kelompok hak asasi manusia telah meminta lebih banyak bantuan untuk para pengungsi.
Pada Jumat kemarin, tak kurang dua ribu pria, wanita dan anak-anak tinggal di bawah tenda terpal di tepi sungai Moei di Thailand, di empat lokasi terpisah, tulis Reuters.
Seorang wanita dari kamp tersebut, Sabal Phyu (42), telah menyeberangi perbatasan yang dijaga dengan longgar untuk mengumpulkan makanan yang disumbangkan dan air kemasan, sebelum kembali ke sisi sungai Myanmar.
“Di sana, kami menerima sumbangan bantuan yang baik tetapi sangat ramai dan sulit untuk ditinggali. Di sini, kami memiliki lebih banyak kebebasan,” kata Sabal Phyu kepada Reuters.
Ia mengatakan awalnya menyeberang ke Thailand dengan suami dan empat anaknya tetapi kembali ke daerah perbatasan setelah dimasukkan ke dalam kandang ternak kosong dengan pengungsi lain di dekat kota Mae Sot, Thailand.
Sekitar 8.000 pengungsi Myanmar kini tinggal di tempat penampungan sementara di Thailand, menurut Komite Palang Merah Internasional.
Sementara itu Jubir Pemerintah Thailand, Ratchada Dhanadirek mengatakan negara itu “mengurus para pengungsi” dan menjalankan tugasnya “sesuai dengan standar hak asasi manusia internasional”.
Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNHCR, mengatakan pada Jumat kemarin bahwa mereka belum diberikan akses oleh Pemerintah Thailand ke situs-situs di Mae Sot di mana para pengungsi ditampung dan juga tidak dapat mengakses sisi perbatasan Myanmar.
UNHCR telah memasok kelambu, alas tidur, selimut, dan masker wajah untuk mendukung respons kemanusiaan yang dipimpin oleh otoritas Thailand, kata Jubir Kasita Rochanakorn.
Wakil Direktur Asia di Human Rights Watch mengatakan Thailand perlu berbuat lebih banyak untuk mendukung mereka yang telantar akibat pertempuran di Myanmar.
“Thailand harus mengakui bahwa kewajiban kemanusiaan mereka kepada pengungsi melibatkan lebih dari sekadar mengizinkan beberapa paket makanan dan obat-obatan melintasi perbatasan,” kata Phil Robertson.
Di tempat lain di Myanmar, ada laporan tentang sebuah desa di divisi Sagaing utara yang diduga diserang militer pada Jumat kemarin.
Penduduk desa Kan Gyi East di kotapraja Kanbalu terpaksa melarikan diri pada Jumat pagi, ketika pasukan junta militer dilaporkan memukuli penduduk dan menangkap sedikitnya 20 dari mereka, sambil membakar rumah dan membunuh ternak, menurut unggahan media sosial, yang juga menampilkan foto-foto yang menunjukkan dugaan penyerangan.
Tak ada yang bisa dikonfirmasi atas laporan tersebut, dan militer belum mengomentari insiden tersebut.
Myanmar berada dalam kekacauan sejak junta militer melancarkan kudeta dan menggulingkan Pemerintah sipil yang dipimpin oleh peraih Nobel, Aung San Suu Kyi pada 1 Februari tahun lalu, memicu protes dan bentrokan sporadis di pedesaan antara milisi anti-junta dan tentara.
Lebih dari 1.400 warga sipil dan pengunjuk rasa telah dibunuh oleh junta militer Myanmar sejak kudeta, menurut kelompok aktivis Asosiasi Bantuan Tahanan Politik.
Militer mengatakan angka-angka itu, yang secara luas dikutip oleh organisasi internasional, dilebih-lebihkan.