Peneliti di Academic Adviser pada ROOTS (Research and Operations on Technology and Society) itu menjelaskan, penggunaan drone militer cenderung berisiko secara substantif dari sisi kemanusiaan.
Pasalnya, drone tersebut bisa salah target dan berisiko mengenai target ke warga sipil, termasuk wanita dan anak-anak. Dia mencontohkan operasi drone Amerika Serikat di Yaman, Pakistan, Afghanistan, Suriah, dan Irak banyak sekali menelan korban warga sipil tak berdosa.
Maka dari itu, Riefqi mengatakan pengembangan drone yang autonomous (otonom) sangatlah berbahaya jika untuk dunia militer. Ia memaparkan, PBB dalam empat tahun terakhir ini secara berkala melakukan pembahasan UN Convention on Certain Weapons (CCW) membentuk Governmental Group of Experts (UN-GGE) untuk secara khusus membahas autonomous weapon system.
Baca juga: Jokowi Baru Tahu Alasan Dirinya Tak Diundang ke Munas Hanura
Proses itu masih akan terus berlangsung di Jenewa untuk mencari kesepakatan. Menariknya, kata Riefqi, Indonesia belum pernah hadir dalam proses pembahasan pada UN-GGE mengenai autonomous weapons ini.
Riefqi menyarankan Jokowi agar teknologi AWS hanya diterapkan untuk di sektor sipil saja, bukan untuk industri militer. Misalnya pada sektor teknologi angkasa, transportasi, kesehatan, hingga pertanian.
Ia menyatakan Indonesia justru harus bersama negara-negara lain di dunia mendukung proses PBB untuk melarang autonomous weapons, bukan justru ingin mengembangkannya. Ia meyebut para ahli teknologi dari berbagai belahan dunia seperti Elon Musk dan ribuan ahli AI dan cyber secara multidisiplin telah mendeklarasikan bahaya penggunaan AI untuk autonomous weapons karena sifatnya yang antikemanusiaan.
Baca juga: APINDO: Angka Ekspor Mulai Meroket di 100 Hari Jokowi-Ma’ruf