
TIKTAK.ID – Delegasi China telah menjelaskan ke Uni Eropa mengapa Beijing mendukung seruan Moskow agar ekspansi NATO dihentikan. Pernyataan itu muncul sebagai bagian dari tanggapan terhadap Sekretaris Jenderal blok militer pimpinan AS, Jens Stoltenberg, yang menuduh Beijing “menyangkal hak negara-negara berdaulat untuk membuat pilihan mereka sendiri”.
“NATO adalah sisa Perang Dingin, yang untuk beberapa alasan terus tumbuh meskipun Perang Dingin berakhir tiga dekade lalu,” kata Jubir delegasi China pada Selasa (8/2/22), seperti yang dikutip RT.
Pendekatan yang diambil oleh blok militer pimpinan AS ini “tidak kondusif bagi keamanan dan stabilitas global”, katanya.
“China percaya bahwa keamanan regional tidak boleh dijamin dengan memperkuat atau memperluas blok militer.”
Menurut Beijing, NATO harus “meninggalkan mentalitas Perang Dingin dan bias ideologis”, sambil berfokus untuk melakukan “lebih banyak untuk meningkatkan rasa saling percaya”.
Upaya lanjutannya untuk memperluas bertentangan dengan kedaulatan negara, rencana pembangunan damai mereka, serta sejarah dan budaya mereka, Jubir itu menambahkan.
Pernyataan itu pada dasarnya menegaskan kembali poin-poin utama yang dibuat dalam pernyataan bersama Presiden Rusia, Vladimir Putin dan timpalannya dari China, Xi Jinping pekan lalu.
Stoltenberg membahas langkah Putin dan Xi pada Senin, mengatakan bahwa “untuk pertama kalinya China bergabung dengan Rusia dalam menyerukan NATO untuk berhenti menerima anggota baru”.
Menurut Sekretaris Jenderal blok tersebut, ini adalah “upaya untuk menolak hak negara berdaulat untuk membuat pilihan mereka sendiri” oleh Moskow dan Beijing.
Rusia telah menuntut agar AS memberikan jaminan keamanan tertulis bahwa NATO tidak akan memperluas ke Ukraina dan Georgia, yang oleh Moskow dilihat sebagai sebagai ancaman besar bagi keamanan nasionalnya.
Seruan itu dilakukan pada pertengahan Desember tahun lalu di tengah meningkatnya ketegangan atas Ukraina dan klaim oleh Washington bahwa Rusia akan “menyerang” negara tetangganya itu.
Moskow berulang kali telah menyangkal spekulasi seperti “berita palsu” dan upaya tak berdasar untuk membangkitkan “histeria” itu. Terbukti, hingga dua bulan kemudian, memang tidak ada invasi Rusia yang terjadi.