Sementara itu, Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta, Syaiful Bakhri menjadi Ketua Tim Hukum Judicial review Perppu 1/2020. Ia mengatakan, syarat kegentingan yang memaksa penerbitan Perppu tersebut tidak terpenuhi dalam penerbitan Perppu 1/2020.
Syaiful menjelaskan, keadaan kegentingan yang memaksa menurut Pasal 22 UUD 1945 dan putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2019 hanya terpenuhi dalam hal penanganan Covid-19. Sedangkan, dalam ancaman yang membahayakan perekonomian nasional, tidak ada keadaan kegentingan yang memaksa.
Menurut dia, Perppu itu menjadikan eksekutif dalam arti sempit tanpa kontrol atau melampaui kewenangan. Perppu 1/2020 memangkas tiga lembaga sekaligus. Ia memaparkan, Pasal 2 Perppu itu memangkas fungsi pengawasan dan budgeting atau anggaran DPR.
Baca juga: Pakar Komunikasi Ade Armando Sebut Banyak ‘Pengkhianat’ Tusuk Jokowi dari Belakang
Kemudian, Pasal 27 memangkas fungsi pengawasan teknik keuangan anggaran negara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan kekuasaan judicial. Serta Pasal 27 juga memangkas kewenangan judicial peradilan karena tidak bisa menjangkau segala penyalahgunaan keuangan yang dikeluarkan dalam rangka penanganan Covid-19.
“Perppu yang bertentangan dengan berbagai undang-undang, atau istilah lainnya disharmonisasi sesama undang-undang,” kata Syaiful.
Ia merinci, Undang-Undang (UU) yang bertentangan dengan Perppu 1/2020 itu adalah UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara karena terjadi perbedaan pengertian dan ruang lingkup keuangan negara. Perbedaan ini terlihat dalam Pasal 2 UU Keuangan Negara dan Pasal 27 Perppu 1/2020.
Kemudian, Perppu itu juga bertentangan dengan UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK dan UU Nomro 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Keuangan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Sebab, menurut Syaiful, terjadi perbedaan ruang lingkup kewenagan BPK dengan Perppu yang membuat laporan keuangan menjadi lunak.