Pemungutan suara parlemen pada Ahad lalu dilakukan sebagai tanggapan atas serangan udara Washington pada Jumat lalu yang membunuh Jenderal Iran Qassem Soleimani, dan wakil komandan Popular Mobilization Units (PMU) Irak atau Hashd al-Sha’abi, Abu Mahdi al-Muhandis.
AS, yang didukung Inggris, pada 2003 menginvasi Irak dengan tuduhan bahwa bekas rezim Saddam Hussein itu memiliki senjata pemusnah massal. Namun, hingga saat ini bukti adanya senjata yang dimaksud itu tak pernah ditemukan.
AS dan Inggris kemudian menarik diri dari Irak, setelah hampir sembilan tahun melancarkan operasi militer yang menelan korban puluhan ribu nyawa warga Irak.
Baca juga: Ribuan Pelayat di Baghdad Kutuk ‘Setan Besar’ Amerika
Namun, koalisi militer pimpinan AS ini kembali lagi ke negara Arab pada 2014, ketika kelompok teroris Takfiri ISIS melancarakan terornya hingga menghancurkan Irak. AS mencoba hadir menjadi pahlawan bagi Irak untuk bertempur membasmi ISIS.
Namun, laporan yang tersebar luas mengatakan bahwa operasi yang dipimpin Washington itu sebagian besar malahan menyelamatkan para teroris dan sebaliknya, menyebabkan kematian warga sipil serta menimbulkan kerusakan infrastruktur di Irak.
Di pihak lain, pasukan militer Irak yang didukung oleh pasukan sukarelawan Hashd al-Sha’abi, berhasil membebaskan semua wilayah Irak yang dikuasai ISIS. Sebagian besar berkat jasa penasihat militer yang efektif dari negara tetangga Iran, Jenderal Soleimani.
Baca juga: Kedutaan Besar Amerika di Baghdad Jadi Sasaran Amuk Demonstran
Letnan Jenderal Soleimani adalah tokoh internasional yang memainkan peran utama dalam mejaga keamanan di negara-negara kawasan, khususnya di Irak dan Suriah.
Baghdad kemudian mengumumkan berakhirnya kampanye melawan ISIS pada 2017. Namun tentara AS masih juga tidak pulang meskipun Irak sudah menang melawan ISIS.