Sebagai dokter yang lebih banyak aktif sebagai peneliti, Supari mulai mencium gelagat tidak beres ketika banyak negara (termasuk Indonesia) dilanda bencana virus Flu Burung. WHO mewajibkan negara-negara yang menderita virus Flu Burung untuk menyerahkan virusnya ke laboratorium mereka.
Namun anehnya, hasil penelitian dari virus tidak pernah diberikan kepada negara penderita (affected countries). Tiba-tiba vaksinnya sudah ada dan dijual secara komersial. Vietnam, contohnya, memiliki banyak penderita penyakit Flu Burung. Vietnam pun memberikan sampel virusnya ke WHO. Tidak ada vaksin yang didapat malah mereka dipaksa membeli vaksin Flu Burung dari salah satu perusahaan farmasi AS dengan harga mahal. Darimana vaksin itu berasal kalau bukan dari sampel virus flu burung Vietnam?
Baca juga: Anies Baswedan: Bertambah Amat Cepat, Kasus Corona di Jakarta Sudah Ada di Semua Kawasan
Sejak menyadari adanya ketidakberesan ini, Fadhilah Supari mulai menolak permintaan WHO agar menyerahkan sampel virus Flu Burung tanpa syarat kepada Badan Kesehatan Dunia itu. Supari mencium adanya aroma kapitalisme dan kolonialisme di balik sepak-terjang Amerika dan WHO ini.
Betapa tidak. WHO justru menjual kembali virus itu kepada perusahaan farmasi AS untuk dibuatkan vaksinnya yang akan dijual secara komersial kepada negara-negara yang menderita pandemi Flu Burung.
Hal ini semakin jelas ketika pihak WHO yang diwakili Dr. Heyman mendatangi Menteri Kesehatan dan memaksa Siti Fadhilah memberikan sampel virus Flu Burung Indonesia kepada WHO.
Baca juga: Ahok Dikabarkan Positif Terpapar Corona, Benarkah?
Halaman selanjutnya…