Bertentangan dengan klaim militer Myanmar, Khine Thu Kha, seorang juru bicara pemberontak, menyalahkan militer Myanmar atas jatuhnya korban sipil.
Serangan yang terjadi pada Sabtu lalu ini adalah satu dari beberapa kejadian serupa. Pada awal Januari, empat anak Rohingnya tewas dalam sebuah ledakan. Militer dan pemberontak juga saling menyalahkan dalam kejadian ini.
Pada 25 Januari, pasukan Myanmar menembaki sebuah desa yang dihuni etnis Muslim Rohingya, menewaskan dua wanita; salah satunya hamil, dan melukai tujuh orang.
Baca juga: Virus Corona Makan Korban Pertama di Thailand
Pengadilan internasional yang bermarkas di Den Haag, Belanda, pada awal tahun ini telah memerintahkan Myanmar untuk melindungi Muslim Rohingnya dari kekerasan.
Rakhine State menjadi perhatian global pada tahun 2017 ketika lebih dari 750.000 Rohingya, yang didominasi wanita dan anak-anak, melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh untuk menghindari kekerasan militer yang menurut para penyelidik PBB dilakukan dengan “niat genosida.”
Bangladesh telah menampung sekitar 200.000 Rohingya sejak eksodus dimulai.
Hingga kini, ratusan warga Rohingnya masih menetap di Myanmar dan hidup dalam kondisi seperti apartheid, terkurung di kamp-kamp dan desa-desa, jauh dari akses ke layanan kesehatan dan pendidikan.
Etnis Rohingya telah mendiami Rakhine State selama berabad-abad, tetapi Myanmar menyangkal kewarganegaraan mereka. Bangladesh juga menolak memberi mereka kewarganegaraan.
Pada 2013, PBB mendeskripsikan Rohingya sebagai minoritas yang paling teraniaya di dunia.