“Ah sepertinya saya terlalu sensi dengan Pak Yai. Maafkeun saya, Pak. Saya memang suka kebablasan. Saya lupa usaha kerja keras Bapak untuk membangun terowongan silaturahmi yang menghubungkan antara Masjid Istiqlal dengan Gereja Katedral. Terowongan itu akan menjadi simbol toleransi yang membuktikan betapa tolerannya umat beragama di negeri ini. Jadi ada baiknya Pemerintah India meniru solusi toleransi dengan membangun terowongan yang menghubungkan masjid agung dan tempat ibadah umat Hindu untuk mengatasi permasalahan intoleransi akut yang melanda mereka,” ungkapnya.
Pada puncaknya, sampailah si penulis pada kesimpulan, bahwa cara membuat India menjadi toleran adalah dengan cara meniru Indonesia sebagaimana disampaikan Ma’ruf Amin, yakni di antaranya dengan cara membangun “terowongan toleransi” yang menghubungkan tempat ibadah dua agama yang berbeda. Demikian pula halnya soal “RUU Cilaka” dan minimnya upah buruh, maka solusinya pun mestinya tak jauh beda.
“Mengenai Ahmadiyah yang ditolak di negeri sendiri, susahnya izin mendirikan rumah ibadah, RUU Cipta Lapangan Kerja yang tidak toleran terhadap buruh, sampai RUU Ketahanan Pangan yang tidak toleran terhadap buruh upah UMK itu semuanya bisa diselesaikan dengan terowongan silaturahmi ya, Pak?” pungkas penulis menyudahi kritik tajamnya.
Membaca utuh uneg-uneg penulis yang disampaikannya tanpa tedeng aling-aling lewat laman mojok.co kepada Kiai Ma’ruf Amin, sepintas seolah sudah lengkap dan tak ada lagi yang perlu dipersoalkannya lebih lanjut. Padahal terkait sejarah intoleransi di Tanah Air, sebenarnya masih tersisa pekerjaan rumah (PR) yang hingga kini belum mampu dituntaskan Pemerintah, yakni menyangkut nasib Muslim Syiah asal Sampang yang terhitung sudah 8 tahun dipaksa hidup sebagai pengungsi di negeri mereka sendiri sebagai dampak buruk aksi intoleransi. Ironisnya, tak dapat dimungkiri dan layak diingat, ternyata ada “saham” Kiai Ma’ruf pula dalam hal ini.
Baca juga: Gawat! Ekonom Rizal Ramli Ramal Kondisi Krusial Berujung ‘Lengsernya Kekuasaan’ sebelum Lebaran
Bagaimana membuktikannya?
Mungkin harus diakui bahwa seperti yang disampaikan penulis mojok.co, “jejak digital itu memang kejam”. Maka dari jejak itulah dapat dirunut kronologi “keterkaitan” antara Kiai Ma’ruf dan nasib mengenaskan pengungsi Muslim Syiah Sampang yang hingga kini masih tertahan di Rusun Jemundo Sidoarjo itu.
Dalam kasus Sampang, pada awalnya Ketua Komisi Fatwa—yang kemudian menjabat Ketua Umum—MUI, Kiai Ma’ruf Amin, sebagaimana ditulisnya dalam artikel di Republika (8/11/2012), dengan tegas mengafirmasi fatwa MUI Jatim tentang Syiah.
Dalam tulisannya yang berjudul “Menyikapi Fatwa MUI Jatim” di rubrik opini Harian Nasional Republika tersebut, Kiai Ma’ruf mengatakan bahwa fatwa MUI dalam soal akidah dimaksudkan “sebagai panduan dan bimbingan kepada umat tentang status paham keagamaan yang berkembang di masyarakat”. Fungsi fatwa, katanya, ialah sebagai “al-bayan atau penjelasan”.
Namun apa yang kemudian terjadi? Faktanya, fatwa MUI Jatim tersebutlah yang justru dipakai oleh pengadilan setempat untuk mempidanakan dan memvonis koordinator Muslim Syiah Sampang, Tajul Muluk dengan hukuman 4 tahun penjara.
Dengan kata lain, Fatwa MUI ternyata bukan sekadar “al-bayan” sebagaimana secara sepintas disampaikan Kiai Ma’ruf, tapi telah digunakan sekelompok orang berwatak intoleran untuk mempersekusi pihak yang difatwa sesat dan, lebih fatal dari itu, diadopsi oleh Pemerintah hingga seolah-olah memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Baca juga: Menteri PMK Ungkap 6 Pasien Suspect Corona di Kota Malang Sudah Dirawat di Ruang Isolasi
Halaman selanjutnya…