Akibatnya, persepsi publik yang cenderung tak membedakan antara fatwa sebagai pendapat yang tak mengikat dan vonis pengadilan, lebih-lebih undang-undang, adalah aspek yang harus dipertimbangkan dalam pengolahan fatwa MUI. Tanpa mempertimbangkan ini, alih-alih bisa meminimalisasi penyebaran “aliran sesat”, MUI justru berkontribusi terhadap digunakannya fatwanya untuk menzalimi pihak lain yang dicap berbeda. Atau dengan kata lain, bermaksud memberantas kemungkaran tapi melahirkan kemungkaran baru berupa persekusi dan kekerasan.
Harus diakui bahwa dalam aspek yang terakhir ini MUI telah digeret—baik oleh orang MUI sendiri maupun pemerintah terkait—melampaui proporsi yang semestinya sebagai lembaga non-pemerintah (yang juga bukan ormas, dan karena itu tak setara dengan NU dan Muhammadiyah).
Pendek kata: fatwa MUI, semua tahu, sesungguhnya tidak memiliki status hukum dalam tata aturan perundang-undangan di negeri ini.
Masalahnya kemudian adalah, bagaimana memastikan bahwa Kiai Ma’ruf juga sepenuhnya paham atau setidaknya mau dengan legowo mengakui hal tersebut?
Mungkin di lain waktu, penulis mojok.co bisa meluangkan waktu dan kesempatan khusus untuk sowan ke kediaman Kiai Ma’ruf atau bahkan ke Istana Wapres, itung-itung sekadar mengonfirmasi langsung kepada yang bersangkutan sebelum kembali menyampaikan uneg-unegnya kepada publik.