TIKTAK.ID – Dewan Pengurus Pusat Ormas Islam AHLULBAIT INDONESIA (DPP ABI) menggelar Seminar Nasional dengan tema “Keniscayaan, Penguatan, dan Perluasan Moderasi Beragama di Indonesia” pada Jumat (18/3/22) di Ballroom Hotel Royal Kuningan, Jakarta. Seminar ini digelar bertepatan dengan 15 Syakban (Nisfu Sya’ban), menandai peringatan kelahiran (milad) Imam Mahdi al-Muntazhar, sekaligus ulang tahun ke-12 ABI.
Hadir dalam seminar tersebut intelektual Muslim sekaligus pakar dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bidang Ilmu Sosial, Budaya, dan Kajian Agama, Prof. Ahmad Najib Burhani dan Ketua Dewan Penasihat ABI, Habib Husein Shahab, M.A, seminar ini juga dimaksudkan sebagai salah satu wujud sumbangsih ABI dalam penguatan dan penyebarluasan tren moderasi beragama di Tanah Air, di samping partisipasi aktif dalam menyuburkan toleransi intra dan antarumat beragama di Indonesia serta menyokong pencanangan tahun 2022 sebagai “Tahun Toleransi”.
Dalam sambutannya saat membuka seminar, Ketua Umum (Ketum) ABI, Habib Zahir Yahya menekankan bahwa dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, ormas Islam ABI hanya meyakini satu parameter untuk menentukan mana yang moderat dan mana yang tidak.
Baca juga : ABI Siap Perkarakan Media yang Sebut HW Pemerkosa Santriwati Bandung sebagai ‘Muslim Syiah’
“Itulah konstitusi dan semua aturan yang merupakan turunan dari konstitusi, terutama yang secara sah telah ditetapkan sebagai undang-undang,” jelas Habib Zahir. “Artinya, mereka yang ekstrem dan tidak moderat adalah mereka yang melampaui batas undang-undang. Sementara yang moderat adalah yang sesuai dengannya. Itu satu-satunya parameter yang menurut saya harus ditegakkan. Karena itu, Pemerintah tak perlu berteori terkait permasalahan (moderasi) ini, cukup mereka tegakkan hukum. Bagi mereka yang ekstrem dan melampaui batas, tegakkan undang-undang dan hukum atas mereka,” tegasnya.
Terkait sikap moderat yang dalam pandangan Pemerintah layak dijadikan pilar moderasi beragama, Habib Zahir menyampaikan beberapa poin menarik dan perspektif baru, di antaranya bahwa moderat tidak boleh diartikan sebatas pola pikir dan pola aksi yang terbebas dari segala bentuk kekerasaan dan ekstremitas. Alasannya, karena moderat bukan semata-mata opsi tengah di antara dua kutub ekstrem.
Baca juga : Sebut MUI Disusupi Wahabi, Ustaz Gorontalo Sampai Ungkap Besaran Gaji
Lebih lanjut Habib Zahir menekankan bahwa jalan atau opsi tengah yang baik dan terpuji bukan berarti kondisi biasa-biasa saja, atau dengan kata lain “tidak terlalu banyak atau terlalu sedikit (ifrath dan tafrith)” sehingga dikatakan bahwa mereka yang melakukannya terlalu banyak atau terlalu sedikit tidak baik, dan yang moderat dalam berbuat, itulah yang terbaik