TIKTAK.ID – Anggota DPR dari Fraksi Gerindra, Fadli Zon mengatakan kritik masyarakat terhadap Omnibus Law Undang-Undang atau UU Cipta Kerja harus diarahkan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
“Sistem kita ini kan presidensil, kekuasaan di tangan presiden. Jadi yang paling bertanggung jawab terhadap Undang-Undang ini tentu saja presiden,” ujar Fadli melalui diskusi Forum Jurnalis Politik, seperti dilansir Tempo.co, Kamis (22/10/20).
Menurut Fadli, bola Omnibus Law ada di tangan presiden. Ia pun menilai Presiden Jokowi bisa saja membatalkan atau menunda aturan ini lewat peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau Perppu.
Baca juga : Pengakuan Luhut: Sayalah yang Mulai Mencetuskan Omnibus Law Cipta Kerja
Ia melanjutkan, jika kritik diarahkan ke partai politik, maka hal itu akan merepotkan. Pasalnya, kata Fadli, partai politik merupakan pilar demokrasi.
“Jadi bukan mengarahkan demo ke parpol dong, karena yang menentukan itu di Istana, bukan parpol,” ucap Fadli.
Seperti diketahui, Pemerintah telah memastikan akan melanjutkan UU Cipta Kerja di tengah ramainya penolakan atas aturan ini. Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Moeldoko menyatakan Jokowi akan segera meneken UU Cipta Kerja. Ia menjelaskan, Presiden Jokowi juga terus berkomunikasi dengan kelompok-kelompok yang menolak.
Baca juga : Bareskrim Polri Tetapkan 8 Tersangka Kebakaran Kejagung
Di sisi lain, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) masih berupaya menuntut DPR untuk melakukan legislative review. Sebab, berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat 1 UUD 1945, DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang. Oleh sebab itu, DPR memiliki kewenangan dalam membuat sebuah UU baru untuk membatalkan UU Cipta Kerja melalui proses legislative review.
“UUD 1945 pasal 22A yang kemudian melegitimasi mendelegasikan ke dalam UU PPP Nomor 15 Tahun 2015 memungkinkan legislative review, jadi gunakanlah hal itu. Kami mohon untuk mewakili kami, buruh dan rakyat di Indonesia,” ucap Presiden KSPI, Said Iqbal dalam konferensi pers virtual, Rabu (21/10/20).
Perlu diketahui, KSPI dan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) mencatat setidaknya ada sebanyak 12 pasal dalam klaster ketenagakerjaan yang dianggap merugikan buruh. Pasal-pasal tersebut mencakup soal pesangon, sistem kontrak dan alih daya, serta pengupahan.