
TIKTAK.ID – Sebelumnya, gelombang penolakan terhadap rencana Pemerintahan Jokowi untuk memindahkan Ibu Kota sudah disampaikan oleh banyak pihak. Kali ini, penolakan yang sama juga disampaikan oleh sejumlah ekonom hingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mereka ramai-ramai menolak pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur. Utamanya, mereka menilai pindah Ibu Kota belum terlalu penting dibandingkan penanganan pandemi virus Corona atau Covid-19 hingga besarnya beban utang negara ke depan.
Ekonom Narasi Institute, Fadhli Hasan menilai pemindahan IKN tidak perlu dilakukan mulai tahun ini karena penanganan pandemi belum selesai. Saat ini, masalah pandemi seharusnya menjadi prioritas karena dampaknya sangat dirasakan oleh masyarakat, seperti pengurangan pendapatan, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), hingga jurang ketimpangan yang semakin dalam di tengah masyarakat.
“Pemerintah sebaiknya menunda rencana pemindahan Ibu Kota Negara sampai penanganan Covid-19 selesai. Sosialisasinya juga masih rendah saat ini,” ungkap Fadhli dalam diskusi yang diselenggarakan lembaganya, Jumat (16/4/21).
Selain pertimbangan lebih pentingnya penanganan dampak pandemi ketimbang pindah Ibu Kota, Fadhli juga menilai Pemerintah sama sekali tak punya dasar hukum yang jelas dan sah berlaku untuk itu. Buktinya, hingga saat ini Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait hal tersebut masih dibahas dengan DPR.
Fadhli menyayangkan Pemerintah yang justru sangat terkesan tetap mengikuti ego sendiri untuk meneruskan rencana pemindahan Ibu Kota Negara. Hal ini tercermin dari aksi peletakan batu pertama (groundbreaking) di kawasan calon Ibu Kota baru tersebut.
“Artinya, peletakan batu pertama pembangunan Ibu Kota ini dilakukan tanpa ada payung hukumnya. Bagaimana jika DPR tidak menyetujui pemindahan Ibu Kota tersebut?” ucapnya.
Hal lain yang disoroti Fadhli adalah alasan pemindahan karena Jakarta sudah terlalu “keberatan beban” dalam memegang peran sebagai Ibu Kota Negara, pusat bisnis, hingga pusat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Belum lagi berbagai masalah sosial, budaya, dan lingkungan di dalamnya.
“Alasan over capacity Jakarta terkesan Pemerintah ingin menghindari upaya mengatasi persoalan yang dihadapi Jakarta, dan jika pindah pun belum tentu persoalan Jakarta akan terselesaikan,” ujarnya.
Di sisi lain, menurutnya, kalau pun Pemerintah ingin melakukan pemerataan ekonomi dan pembangunan di daerah luar Jakarta dan luar Jawa, sebenarnya tujuan ini tetap bisa dilakukan tanpa harus memindahkan Ibu Kota. Misalnya, dengan memberikan dana transfer ke daerah yang lebih besar dan lainnya.
Tak ketinggalan, ada pula kekhawatirannya terhadap peningkatan beban utang ke depan lantaran pemindahan Ibu Kota Negara tetap membutuhkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Padahal, beban utang Indonesia saat ini sudah cukup besar dan terus meningkat.
“Diperkirakan (utang Indonesia) akan berjumlah 10 ribu Triliun pada 2024, ini sudah cukup membebani perekonomian. Di kala sumber daya terbatas dan negara dihadapkan pada penanganan kesehatan dan pemulihan ekonomi, membangun Ibu Kota baru sungguh bukan prioritas yang tepat dan langkah yang benar. Legacy yang ingin ditorehkan Jokowi akan berakhir sebagai misery (penderitaan) bagi masyarakat,” tuturnya.
Sementara itu, Ekonom sekaligus mantan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup era Soeharto, Emil Salim menilai pemindahan Ibu Kota Negara sejatinya tidak serta merta akan memberi hasil pemerataan dan penurunan ketimpangan ekonomi di Tanah Air. Pasalnya, pembangunan Ibu Kota baru ibarat mulai lagi dari nol.
“Membangun Ibu Kota Negara di tengah pulau, belum ada jaminan meratakan pembangunan. Jadi perlu realistis,” tutur Emil …