TIKTAK.ID – Hari Internasional Melawan Islamophobia diketahui telah ditetapkan PBB dalam Sidang Umum (SU) 15 Maret 2022.
Keputusan yang oleh banyak pihak dinilai positif ini, selain diharapkan dapat mendorong negara-negara anggota PBB, termasuk Indonesia -yang menyetujui keputusan SU tersebut- secara aktif dapat ikut serta mewujudkan dan menindaklanjutinya, juga dapat menjadikannya sebagai momentum dalam meningkatkan pemberian harapan terhadap upaya menjamin kesetaraan dan menghentikan tindak diskriminasi, khususnya bagi umat Islam di seluruh dunia.
Negara-negara anggota PBB juga diharapkan dapat menyelenggarakan berbagai program hingga mengupayakan dukungan legislasi untuk melawan Islamophobia, dan pada saat yang sama, negara-negara anggota OKI mampu ikut mengawal serta mengawasi terlaksananya keputusan SU PBB tersebut.
Baca juga : ‘Madrasah’ Hilang dari RUU Sisdiknas, NU Circle Minta Jokowi Pecat Nadiem Makarim
Di Tanah Air, Wakil Ketua MPR-RI, Dr H.M. Hidayat Nur Wahid MA ikut merespons positif keputusan PBB tersebut dan menyatakan sudah saatnya umat Islam makin berperan aktif membudayakan Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
“Islam merupakan agama terbesar kedua di dunia dengan penganut berjumlah 1,91 miliar orang. Islam sudah diterima dan dianut oleh warga di seluruh negara Anggota PBB. Namun bentuk-bentuk Islamophobia seperti ujaran kebencian, diskriminasi, intoleran dan kekerasan terhadap muslim semakin marak. Wajar bila negara-negara dunia yang inginkan harmoni, toleransi, inklusifitas dan hilangkan diskriminasi agar berusaha maksimal untuk melaksanakan keputusan SU PBB ini dengan mewujudkan perlawanan terhadap Islamophobia dengan sungguh-sungguh, dan menjadikan tanggal 15 Maret sebagai Momentum Hari Internasional Melawan Islamophobia,” ujar Hidayat dalam keterangan tertulis, Jumat (18/3/22).
“Ini juga momentum bagi Umat Islam agar semakin aktif melaksanakan dan membudayakan agama Islam yang rahmatan lil ‘alamin,” tegasnya.
Baca juga : Pengamat Sebut Pengadaan Gorden Anggota DPR Senilai 48 Miliar Tak Masuk Akal
Hidayat menilai penetapan Hari Internasional Melawan Islamophobia dalam SU PBB dapat menjadi momentum bagi negara-negara di dunia untuk membuat aturan-aturan hukum terkait. Seperti aturan yang sebelumnya sudah ada dan dipraktikkan di berbagai negara Barat mengenai UU perlawanan terhadap anti-Semitisme.
Seperti diketahui, aturan mengenai anti-Semitisme tersebut sudah sejak lama ada di beberapa negara. Seperti AS, Jerman, Prancis, Belanda, dan terbaru kembali dikuatkan di Ukraina pada 2021. Dengan adanya UU ini, mereka yang mengekspresikan kebencian dan anti-Semitisme dianggap sebagai pelaku kriminal dan bisa dikenai pidana.
“Demi keadilan, produk hukum serupa juga semestinya bisa dibentuk untuk melawan Islamophobia. Ini sangat urgen, mengingat Islamophobia tidak hanya terjadi dalam bentuk ujaran kebencian, tapi juga meningkat sehingga membahayakan semangat harmoni dan toleransi yang dipropagandakan aktivis, juga negara-negara Barat. Apalagi Islamophobia juga berwujud kekerasan fisik yang membahayakan hingga menghilangkan nyawa manusia hanya karena ia beragama atau memakai simbol-simbol Islam,” papar Hidayat.
Baca juga : Soal Pemanggilan Andi Arief, Demokrat Desak KPK Profesional dan Tak Jadi Alat Politik untuk Tekan Oposisi
Pada saat yang sama, Hidayat juga mengapresiasi upaya yang sudah berlangsung seperti di AS di mana aturan yang disebut “Combating International Islamophobia Act” telah lolos dari House of Representative (DPR) dan masuk ke Senat di AS pada 15 Desember 2021. Sementara di Kanada, upaya tersebut bahkan datang dari eksekutif dan legislatif, sehingga akhirnya Pemerintah Kanada bermaksud membentuk Badan khusus melawan Islamophobia, dan sejumlah legislator telah mengajukan “Our London Family Act” sebagai RUU untuk melawan Islamophobia.
Namun berbeda dengan HNW, Penggiat Studi Konstitusi sekaligus Aktivis Gerakan Anti Radikalisme dan Intoleran asal Malang, Gunanto Daud, justru menyangsikan upaya Barat, terutama AS dalam menggaungkan kampanye Anti-Islamophobia.
“Kita lihat saja nanti, jangan terlalu dini menilai suatu keputusan politik yang sarat dengan kepentingan ini di tengah situasi dunia yang terus berubah. Karena yang langgeng selain kepentingan adalah perubahan itu sendiri,” respons Gunanto, saat ditanya apakah penetapan Hari Internasional Melawan Islamophobia ini akan berdampak baik bagi dunia, khususnya dunia Islam.
Baca juga : NasDem-Demokrat Bertemu, Benarkah Bahas Duet Anies-AHY di 2024?
Lebih lanjut, mengaku sebagai orang yang “tidak punya sisa” sedikit pun rasa percaya pada AS karena rekam jejaknya dalam pelanggaran HAM dan memicu perang di banyak negara, Gunanto balik mempertanyakan, “Siapa yang memberi mandat dan apa dasar hukumnya, AS mengangkat dirinya sebagai pemimpin dan mengklaim diri berhak memerangi siapa pun di dunia ini yang dianggap Islamophobia?”
“Bayangkan, usai PBB, tak lama berselang DPR AS pada Selasa (14/12/21) menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diajukan Fraksi Partai Demokrat terkait pendirian kantor khusus untuk memerangi Islamophobia. Konon Persetujuan itu menyusul insiden penghinaan bernada anti-Islam yang dilontarkan seorang anggota Kongres AS dari Partai Republik terhadap politikus Demokrat, beberapa waktu lalu,” urai Gunanto yang kemudian menggarisbawahi, bahwa RUU itu berisi rencana pembentukan kantor Departemen Luar Negeri (Deplu) AS yang dikhususkan untuk mengatasi perilaku bias anti-Muslim di seluruh dunia.
Selanjutnya, Gunanto menyebutkan bahwa rencana AS membentuk utusan khusus untuk memantau dan memerangi Islamophobia dan memasukkan kekerasan anti-Muslim yang disponsori negara dalam laporan hak asasi manusia tahunan Deplu AS, layak diwaspadai.
Baca juga : Partai Berkarya Pimpinan Tommy Soeharto Tak Diakui Pemerintah
Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh DPR AS seperti dikutip Reuters, Rabu (15/12/21), pada saat mereka (rakyat AS) berada di tengah meningkatnya kekerasan dan diskriminasi anti-Muslim yang mengejutkan di seluruh dunia, dan Islamophobia memiliki cakupan global, maka mereka (AS) harus memimpin upaya global untuk mengatasinya.
“Sangat mungkin ini akan berimplikasi panjang dan jauh dari penyelesaian masalah. Karena apa? Akan ada pemaksaan monopoli tafsir pada jargon Islamophobia, bisa lewat lembaga internasional, atau aksi sepihak, dan berujung pada konflik baru yang akan jauh lebih rumit,” prediksi Gunanto.
“Lebih khusus pada masalah dalam negeri kita, yang sedang marak-maraknya beragam aksi dengan label agama, konon memperjuangkan nilai agama walau lewat hoaks dan ujaran kebencian, penistaaan symbol-simbol negara, bahkan tidak sedikit yang terang-terangan ingin mengganti ideologi pemersatu Pancasila, dengan penerapan syariah, atau ingin mendirikan khilafah. Lantas, kalau ada yang menolak semua gerakan makar itu, karena Pancasila dan NKRI sudah final, kemudian di antara mereka ada yang terjerat kejahatan terhadap ideologi, negara, kepala negara dan atau pemerintah yang sah, apakah Amerika punya otoritas untuk memasukkan Indonesia ke dalam daftar negara-negara Islamophobia? Dalam hal ini, kita mesti ingat apa yang selama ini menimpa Hizbullah Lebanon, atau Houthi di Yaman yang dituding AS sebagai musuh mereka. Sementara pada saat yang sama, AS sendiri juga sangat memusuhi Republik Islam Iran. Apa itu bukan termasuk Islamophobia?” tanya Gunanto.
Baca juga : Luhut Bertemu Puan di Bali, Lobi Tunda Pemilu?
Lalu bagaimana agar Indonesia tidak terjebak pada kampanye Anti-Islamophobia versi AS yang menurut Gunanto sarat kepentingan politik sepihak negara adikuasa itu sendiri?
“Setidaknya, kita wait and see, tapi tidak dengan cara berdiam diri. Kita sampai hari ini jauh dari apa yang mereka (AS) katakan Islamophobia. Mana mungkin negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, bahkan dengan jumlah terbesar di dunia, phobia terhadap Islam?” sergah Gunanto.
“Hanya dalam bernegara kita sepakat dengan piagam suci Pancasila sebagai fondasi NKRI. Karenanya, kita wajib dan harus terus tanpa henti membangun karakter bangsa, memperkuat kedaulatan negara, menjaga Pancasila sebagai ideologi pemersatu, memupuk kebinekaan dengan toleransi, persatuan menuju keadilan. Hanya itu yang kita perlukan,” lanjutnya.
Baca juga : Putra dan Menantu Jokowi Sambangi Ganjar, Bahas Apa?
“Jadi, tidak peduli siapa pun, yang makar pada negara, dari golongan mana pun, pastilah akan berhadapan dengan penjaga kedaulatan negara, khususnya TNI/POLRI serta mayoritas warga negara yang majemuk ini. Kuncinya ada di keberanian menjaga kedaulatan, utamanya pada POLRI. Lembaga ini sangatlah mendesak untuk di-backup oleh tim yang handal dan diplomatis dalam melawan para provokator. Selain, payung hukum untuk landasan penegakan hukum dan penindakan terhadapan kejahatan-kejahatan konstitusi,” pungkas Gunanto.