TIKTAK.ID – Diketahui, nilai tukar rupiah makin menguat sejak memasuki bulan April hingga awal Juni saat sempat berada di bawah level psikologis Rp14.000/US$.
Pada 23 Maret lalu, rupiah sempat menyentuh Rp16.620/US$ yang merupakan level terlemah sejak krisis moneter 1998.
Kemudian pada 8 Juni lalu, rupiah menyentuh Rp13.810/US$. Berdasarkan 2 posisi tersebut, rupiah sudah membuka penguatan sebesar 16,91%. Ketika mencapai level Rp 13.810/US$, rupiah perlahan mulai terkoreksi. Pada penutupan perdagangan Jumat (19/6/20), rupiah melemah 0,29% ke Rp14.050/US$
Baca juga : Ultah ke-59, Jubir Presiden: Jokowi Terus Berjuang Untuk Rakyat
Sebelumnya, pada Januari ketika virus Corona (Covid-19) belum menjadi pandemi dan memicu perlambatan ekonomi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga sudah memberi peringatan karena rupiah terus terapresiasi.
Ketika itu, rupiah berada di level terkuat dalam 2 tahun terakhir melawan dolar AS, yakni menyentuh level Rp13.565/US$.
“Nilai tukar rupiah kita menguat, tapi kalau menguatnya terlalu cepat kita harus hati-hati,” ujar Jokowi saat menjadi pembicara dalam Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan di Ritz Carlton, SCBD, seperti dilansir CNBCIndonesia.com, Kamis (16/1/20).
Jokowi mengatakan ada yang tidak senang dan ada yang senang dengan menguatnya rupiah. Menurutnya, eksportir pasti tidak senang karena rupiah terus menguat.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan pihaknya juga tidak mau rupiah terlalu kuat, karena Indonesia masih butuh ekspor yang berdaya saing dengan nilai tukar yang terjaga. Hal itu diungkapkannya dalam pidato tanggapan Pemerintah atas kerangka makro APBN 2021.
“Perlu kita sadari bersama bahwa pada saat ini posisi nilai tukar yang terlalu kuat juga dapat memukul kinerja ekspor nasional dan berakibat buruk bagi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan,” terang Sri Mulyani.
Baca juga : Top Pak Jokowi! 2 Tambang Raksasa Asing Kembali ke Pelukan Ibu Pertiwi
Ia menjelaskan, nilai tukar rupiah yang terlalu kuat dapat melumpuhkan daya saing produk Indonesia. Hal itu berpotensi menyebabkan penurunan ekspor serta peningkatan impor produk yang menjadi lebih murah.
Oleh karena itu, Sri Mulyani menyebut Pemerintah bersama Bank Indonesia akan terus mengelola nilai tukar secara berhati-hati untuk tetap menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi.