TIKTAK.ID – Sebuah laporan ilmiah yang menggunakan data dari 60 negara selama beberapa dekade, menemukan bahwa cuaca panas dan kelembaban akibat dari perubahan iklim dapat dikaitkan dengan peningkatan bunuh diri.
Dilansir RT, sebuah artikel yang diterbitkan dalam Laporan Ilmiah pada Senin (15/11/21) mengklaim memiliki “bukti empiris” yang menunjukkan “efek perubahan iklim antropogenik” -yaitu panas dan kelembaban- dapat “memiliki dampak signifikan pada kesehatan mental”.
Kelembaban khususnya memiliki korelasi yang lebih tinggi dengan kasus bunuh diri daripada gelombang panas, dan hubungan tersebut memiliki efek yang lebih besar pada orang yang lebih muda dan wanita, menurut laporan itu, yang menyimpulkan “kemungkinan ada hubungan antara kedua kejadian gelombang panas dan kelembaban relatif dengan bunuh diri”.
Rekan penulis laporan itu, Dr Sonja Ayeb-Karlsson mengatakan kepada The Guardian bahwa hubungan tersebut bisa jadi merupakan akibat dari kesulitan tubuh dalam mengatur suhu di lingkungan yang lembab dan kesulitan tidur juga bisa menjadi faktor.
“Jika Anda berbicara tentang kesehatan mental, ada cukup banyak tautan –ada kecemasan, sulit untuk tidur, menjadi tak tertahankan,” kata Ayeb-Karlsson. Ia menambahkan, “Kurang tidur adalah masalah yang sangat besar… Sulit untuk tidur saat cuaca panas dan bahkan lebih sulit ketika cuaca lembab.”
Meskipun negara-negara beriklim panas seperti Thailand dicatat sebagai negara yang paling berisiko, Ayeb-Karlsson memperingatkan bahwa negara-negara Eropa yang cuacanya lebih dingin seperti Swedia juga menunjukkan hubungan antara kelembaban dan bunuh diri.
Ia menjelaskan bahwa “kejutan dari suhu yang lebih dingin ke suhu yang ekstrem” dapat menjadi “berbahaya bagi kesehatan mental”. Menurut penelitian, di 40 negara ditemukan hubungan yang sangat kuat antara bunuh diri dan kelembaban.
Namun, hasilnya juga beragam, di beberapa negara bercuaca panas dan lembab ada juga yang menunjukkan penurunan tingkat bunuh diri atau tidak ada korelasi sama sekali, dan laporan tersebut mencatat bahwa penelitian lebih lanjut akan diperlukan.
Studi ini juga tidak mempertimbangkan faktor-faktor seperti status sosial ekonomi dan akses ke layanan kesehatan dalam temuannya.