TIKTAK.ID – Beberapa organisasi sipil yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP, diketahui mengecam keputusan Pemerintah dan DPR yang mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Pasalnya, RKUHP tersebut dianggap masih memuat sejumlah pasal kontroversial.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur menyoroti DPR dan Pemerintah, lantaran terburu-buru dalam pengesahan RUU tersebut dan tidak melibatkan partisipasi publik. Isnur pun menilai sejumlah pasal dalam RKUHP bakal membawa masyarakat ke masa penjajahan oleh Pemerintah sendiri.
“Bahkan draf terbaru dari rancangan aturan ini baru dipublikasi pada 30 November 2022 dan masih memuat sederet pasal bermasalah yang selama ini ditentang oleh publik karena akan membawa masyarakat Indonesia masuk ke masa penjajahan oleh Pemerintah sendiri,” ungkap Isnur dalam keterangannya, pada Selasa (6/12/22), seperti dilansir CNN Indonesia.
Baca juga : Ini Alasan Komunitas Profesi Tukang se-Indonesia Siap Dukung Moeldoko Maju Pilpres 2024
Isnur mengatakan koalisi sipil mengkritik beberapa pasal dalam RKUHP yang diklaim anti demokrasi, melanggengkan korupsi, membungkam kebebasan pers, menghambat kebebasan akademik, dan mengatur ruang privat masyarakat. Dia menyatakan sejumlah pasal itu hanya akan tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Dia juga menyebut pasal-pasal RKUHP masih akan sulit untuk menjerat kejahatan yang dilakukan oleh korporasi kepada masyarakat.
“Aturan ini lagi-lagi menjadi aturan yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas, lantaran mempersulit jeratan pada korporasi jahat yang melanggar hak masyarakat dan pekerja,” tegas Isnur.
Baca juga : NasDem Sarankan Prabowo Jadi Cawapres Anies, Perindo: Anies Bukan Siapa-siapa
Isnur mencontohkan, koalisi menyoroti Pasal 188 yang mengancam jerat pidana bagi siapapun yang menyebarkan paham Komunisme, Marxisme, Leninisme, atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila. Dia berpendapat pasal itu ambigu karena tidak memuat penjelasan siapa yang berwenang menentukan suatu paham bertentangan dengan Pancasila.
Isnur menjelaskan bahwa Pasal 188 memiliki potensi mengkriminalisasi setiap orang, khususnya pihak oposisi Pemerintah, karena tidak memuat penjelasan soal paham yang bertentangan dengan Pancasila.
“Pasal ini berpotensi jadi pasal karet dan bisa menghidupkan konsep pidana subversif seperti yang terjadi di era Orde Baru,” tegas Isnur.
Baca juga : Elektabilitas Prabowo Merosot, Gerindra Bakal Lakukan Ini
Selain itu, Isnur menyinggung Pasal 240 dan 241 mengenai penghinaan terhadap Pemerintah dan Lembaga Negara. Dia memaparkan, pasal tersebut berpotensi menjadi pasal karet karena tidak memberi definisi soal penghinaan. Dia pun khawatir Pasal 240 dan 241 akan digunakan untuk membungkam setiap kritik terhadap Pemerintah atau Lembaga Negara.