TIKTAK.ID – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar membatalkan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) terhadap 1.351 calon ASN KPK, karena materi tes tersebut dinilai melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Hal itu disampaikan melalui Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (LAKPESDAM) PBNU, lewat pernyataan yang ditandatangani oleh Ketua LAKPESDAM PBNU, Rumadi Ahmad, Sabtu (8/5/21).
“Meminta kepada Presiden RI Joko Widodo untuk membatalkan TWK yang dilakukan terhadap 1.351 pegawai KPK. Sebab, pelaksanaan TWK cacat etik-moral dan melanggar HAM yang dilindungi UUD 1945”, tulis Rumadi Ahmad dalam keterangan tersebut, seperti dilansir Tribunnews.com.
PBNU menegaskan bahwa TWK yang diselenggarakan KPK bukan tes masuk menjadi ASN. Terlebih sebagian besar pegawai yang dites adalah mereka yang sudah lama bekerja di KPK dan terbukti memiliki kompetensi dalam pemberantasan korupsi, dan sedang menangani proyek yang sangat serius.
“TWK tidak bisa dijadikan sebagai alat untuk mengeluarkan pegawai KPK yang sudah lama bergelut dalam pemberantasan korupsi,” terangnya.
Kemudian PBNU meminta Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk mengusut pelanggaran hak-hak pribadi, pelecehan seksual rasisme, dan pelanggaran lain yang dilakukan oleh pewawancara kepada pegawai KPK yang diwawancara.
Seperti diketahui, terdapat sejumlah pertanyaan yang dinilai melenceng dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Di antaranya, sejumlah pewawancara menanyakan pertanyaan, mengapa umur segini belum menikah? Masihkah memiliki hasrat? Mau tidak jadi istri kedua saya? Kalau pacaran ngapain saja? Kenapa anaknya disekolahkan di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT)?
Terdapat pula pertanyaan, kalau salat pakai qunut atau tidak? Islamnya Islam apa? Bagaimana kalau anaknya menikah beda agama?
“Pertanyaan-pertanyaan tersebut sama sekali tidak terkait dengan wawasan kebangsaan, komitmen bernegara, dan kompetensinya dalam pemberantasan korupsi,” ucap Rumadi Ahmad.
Ia juga menganggap pertanyaan-pertanyaan tersebut ngawur, tidak professional, dan mengarah pada ranah personal yang bertentangan dengan Undang-Undang Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945. Padahal, lanjutnya, setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.