Upaya Pemerintah di bidang ini ditargetkan untuk mengurangi penundaan. Namun demikian, penyebab keterlambatan dan ketidakpastian untuk mendapatkan izin lingkungan hidup adalah proses yang rumit dan pelaksanaannya yang sewenang-wenang dan korup, daripada perlindungan yang termaktub di dalam Undang-Undang Lingkungan hidup (2009).
Baca juga : Prabowo: Sabar, Kita Coba Dulu UU Cipta Kerja, jika Tidak Bagus Kita Bawa ke MK!
Selain itu, RUU ini menghapus prinsip keselamatan dari beberapa undang-undang yang mengatur perizinan kegiatan dan produk-produk yang berisiko tinggi, seperti obat-obatan, rumah sakit, dan konstruksi bangunan, dan tidak lagi menganggapnya sebagai risiko yang tinggi. Selanjutnya, beberapa revisi di dalam RUU ini yang diusulkan untuk UU Ketenagakerjaan dapat mengurangi perlindungan bagi para pekerja.
Usulan pembebasan dari kepatuhan terhadap upah minimum yang meluas dan reformasi untuk menghapuskan pembayaran pesangon tanpa adanya usulan yang sepenuhnya disempurnakan untuk tunjangan pengangguran yang efektif dan skema asuransi, dapat melemahkan perlindungan bagi para pekerja dan meningkatkan ketimpangan pendapatan.
Ini khususnya bermasalah pada saat pengangguran meningkat karena krisis Covid-19. Pada saat yang sama, reformasi undang-undang ketenagakerjaan kurang penting dibandingkan reformasi perdagangan dan investasi untuk merangsang investasi baru.
Baca juga : Tak Hadiri Undangan Anggota DPRD DKI, Ahok Titip Salam ke Anies
Peraturan perundang-undangan dan kebijakan terbaru lainnya, dari pertambangan hingga pertanian, juga berisiko menimbulkan dampak negatif limpahan aktivitas ekonomi (spillover) bagi masyarakat.
Di sisi lain, UU Cipta Kerja masih sarat penolakan, terutama dari kalangan buruh. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal pun mengklaim tidak akan terlibat dalam pembahasan aturan turunan UU Cipta Kerja. Ia menegaskan, ke depannya aksi penolakan Omnibus Law oleh buruh akan semakin membesar dan bergelombang.
“Buruh menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja, dengan demikian tidak mungkin buruh mau menerima peraturan turunannya, apalagi ikut terlibat membahasnya,” ucap Said Iqbal dalam keterangan tertulis, Kamis (15/10/20).