TIKTAK.ID – Pengadilan tinggi Uni Eropa memutuskan bahwa majikan atau pemberi kerja dapat melarang pekerjanya memakai simbol agama, keyakinan atau politik seperti jilbab.
Namun, pengadilan yang berbasis di Luksemburg itu menggarisbawahi dalam putusannya pada Kamis (15/7/21) bahwa pengadilan di 27 negara anggota blok itu harus mempertimbangkan apakah larangan itu sesuai dengan “kebutuhan sejati” di pihak majikan. Mereka juga harus mempertimbangkan hak dan kepentingan karyawan, termasuk dengan mempertimbangkan undang-undang nasional tentang kebebasan beragama, katanya, seperti yang dilansir Aljazeera.
“Larangan mengenakan segala bentuk ekspresi keyakinan politik, filosofis atau agama yang terlihat di tempat kerja dapat dibenarkan sesuai kebutuhan majikan untuk menghadirkan citra netral terhadap pelanggan atau untuk mencegah perselisihan sosial,” kata pengadilan itu.
Salah satu contoh kasus yang terkait dengan permasalahan ini adalah yang terjadi di Jerman. Ketika seorang majikan dibawa ke pengadilan oleh dua wanita di Jerman yang diskors dari pekerjaan mereka setelah mereka mulai mengenakan jilbab. Jilbab yang mereka kenakan adalah jilbab yang dipakai oleh banyak wanita Muslim sebagai bagian dari anjuran agama mereka.
Kedua wanita Muslim –penjaga kebutuhan khusus di pusat penitipan anak di Hamburg yang dijalankan oleh asosiasi amal, dan seorang kasir di rantai apotek Mueller– tidak mengenakan jilbab ketika mereka mulai bekerja, tetapi memutuskan untuk melakukannya setelah bertahun-tahun kerja di tempat itu.
Mereka diperingatkan oleh majikan masing-masing bahwa hal itu dilarang, dan pada titik yang berbeda para pekerja itu mendapat skorsing, diperintahkan bekerja tanpa jilbab atau ditempatkan di pekerjaan yang berbeda, seperti yang ditulis dokumen pengadilan.
Masalah jilbab telah memicu kontroversi di seluruh Eropa selama bertahun-tahun dan menggarisbawahi perpecahan tajam dalam mengintegrasikan budaya Muslim di Eropa.
Dalam putusan 2017, pengadilan Uni Eropa di Luksemburg telah memutuskan bahwa perusahaan dapat melarang staf mengenakan jilbab dan simbol agama lain yang dipakai dalam kondisi tertentu. Pada saat itu, kasusnya telah memicu reaksi keras di antara kelompok-kelompok agama.
Lebih dari lima juta Muslim tinggal di Jerman, menjadikan mereka kelompok minoritas agama terbesar di sana.
Larangan jilbab bagi perempuan di tempat kerja telah menjadi isu hangat yang diperdebatkan di Jerman selama bertahun-tahun, sebagian besar berkaitan dengan calon guru di sekolah negeri dan hakim peserta pelatihan. Namun, hal tersebut belum menjadi tema utama dalam kampanye pemilihan legislatif tahun ini.
Di tempat lain di Eropa, pengadilan juga menetapkan aturan yang mengatur di mana dan bagaimana jilbab terkadang dilarang di tempat kerja.
Pengadilan tinggi Prancis pada 2014 menguatkan pemecatan seorang pekerja penitipan anak Muslim karena mengenakan jilbab di sebuah creche pribadi yang menuntut netralitas yang ketat dari karyawan. Prancis, rumah bagi minoritas Muslim terbesar di Eropa, melarang pemakaian jilbab di sekolah negeri sejak 2004.
Namun, Mahkamah Konstitusi Austria telah memutuskan bahwa undang-undang di negara itu yang melarang anak perempuan berusia hingga 10 tahun mengenakan jilbab di sekolah adalah diskriminatif.