TIKTAK.ID – Dokumen yang baru saja dideklasifikasi telah mengungkap “borok” Badan Intelijen Pusat AS yang menggunakan seorang tahanan Afghanistan sebagai “boneka” untuk mengajari para interogator cara menyiksa tahanan, menyebabkan pria itu mengalami kerusakan otak.
Menurut laporan tahun 2008 oleh inspektur jenderal CIA, yang diterbitkan oleh The Guardian, Ammar al-Baluchi yang berusia 44 tahun digunakan untuk mengajari para interogator bagaimana melakukan teknik penyiksaan yang disebut “walling”.
Seperti yang dijelaskan oleh CIA, walling adalah tempat seorang interogator “menarik tahanan ke arahnya dan kemudian dengan cepat membanting tahanan ke lantai bohongan”, seperti yang dilaporkan RT, Selasa (15/3/22).
Dokumen tersebut menyatakan bahwa Baluchi menjadi sasaran walling hingga dua jam pada suatu waktu, dan mantan peserta pelatihan mengklaim bahwa “semua siswa interogasi berbaris untuk bergantian membanting Baluchi” sehingga instruktur mereka “dapat mengesahkan mereka pada kemampuan mereka untuk menggunakan teknik tersebut”.
“Dalam kasus ‘walling’ khususnya [Kantor Inspektur Jenderal] mengalami kesulitan menentukan apakah sesi tersebut dirancang untuk mendapatkan informasi dari Baluchi atau untuk memastikan bahwa semua peserta pelatihan interogator menerima sertifikasi mereka”, kata laporan yang tidak diklasifikasikan, mencatat bahwa tampaknya “sertifikasi adalah kunci” selama sesi penyiksaan berlangsung.
Baluchi –yang ditangkap oleh CIA pada tahun 2003 sebelum dipindahkan ke Teluk Guantanamo pada tahun 2006– dilaporkan menderita kerusakan otak akibat penahanannya oleh Badan Intelijen AS.
Pria kelahiran Kuwait itu ditahan karena diduga berperan dalam serangan teroris 11 September 2001 dan bertugas sebagai kurir Osama Bin Laden.
Baluchi tetap dalam tahanan AS di Teluk Guantanamo, meskipun ada seruan dari PBB dan aktivis hak asasi manusia untuk pembebasannya.
Pada bulan ini, seorang pria Arab Saudi dibebaskan dari Teluk Guantanamo untuk menerima perawatan kesehatan mental setelah hampir 20 tahun ditahan. Mohammad Mani Ahmad al-Qahtani, 46, dibebaskan setelah para pejabat AS menganggap pemenjaraannya “tidak lagi diperlukan untuk melindungi negara dari ancaman signifikan yang berkelanjutan terhadap keamanan nasional Amerika Serikat”.
Qahtani dilaporkan didiagnosis dengan skizofrenia dan gangguan stres pasca-trauma setelah dia menjadi sasaran pemukulan, pelecehan seksual, kurang tidur, dan bentuk penyiksaan lainnya di Teluk Guantanamo.
Hingga kini masih ada 38 tahanan yang tersisa di penjara militer yang kontroversial tersebut.