TIKTAK.ID – Pemantau Hak Asasi Manusia di Suriah (Syrian Observatoru for Human Rights/SOHR) mengatakan bahwa 850 tentara bayaran di Suriah telah menuju ke Azerbaijan melalui Turki, dan ratusan lainnya bersiap untuk keberangkatan berikutnya.
Para tentara bayaran -dari kelompok oposisi bersenjata pro-Ankara- dijanjikan gaji bulanan antara $ 1.500 dan $ 2.000 atau berkisar 20 juta sampai 30 juta rupiah, kata pengawas perang yang berbasis di Inggris, tulis France24.
Tentara bayaran yang pertama di antara mereka tiba di Azerbaijan sebelum pertempuran dimulai, mengira bahwa mereka akan menjaga ladang minyak dan perbatasan, katanya.
Seorang tentara bayaran dari kota Atareb di provinsi Aleppo mengatakan kepada AFP bahwa dia berada di garis depan.
“Ya, saya di Azerbaijan”, ia mengirim pesan singkat, tetapi menolak memberikan rincian lebih lanjut.
Seorang sumber di kampung halamannya mengatakan dia berada di unit yang komandannya, Mohammad Shaaban, telah meninggal.
Shaaban termasuk di antara empat warga Suriah yang fotonya dibagikan di media sosial setelah mereka dilaporkan terbunuh di Azerbaijan.
Kepala SOHR, Rami Abdel Rahman mengatakan setidaknya 28 tentara bayaran dari Suriah tewas dalam bentrokan sejak Minggu lalu.
Kerabat mereka bertiga mengonfirmasi kepada AFP bahwa mereka telah tewas.
Turki telah mengakui mengirim tentara bayaran dari Suriah ke Libya yang dilanda konflik sebagai bagian dari dukungannya sejak akhir tahun lalu kepada Pemerintah yang didukung PBB di Tripoli.
Namun, Ankara belum secara resmi mengomentari pengiriman tentara bayaran Suriah ke Azerbaijan, sementara Baku mengatakan orang-orang Armenia dari diaspora telah mendaftarkan diri.
Di provinsi barat laut Suriah, Idlib, tentara bayaran dari kelompok oposisi Abu Adnan, 38, mengatakan dia telah didekati untuk mendaftar agar berangkat ke Kaukasus.
“Giliran kami yang tidak pergi ke Libya, jadi kami disuruh bersiap untuk pergi ke Azerbaijan,” katanya dengan menggunakan nama palsu karena takut akan dampaknya.
Abu Adnan mengatakan dia tiba di utara negara itu pada 2017, setelah meninggalkan kampung halamannya.
Dia bergabung dengan kelompok pemberontak dan pindah dari satu kota ke kota lain bersama keluarganya sampai berakhir di sebuah kamp.
“Di sini kami dibayar di depan seharga 200 lira Turki (sekitar 400 ribu rupiah) dan itu tidak cukup untuk membeli roti, tetapi di sana kami melakukannya dengan $ 1.500,” katanya kepada AFP melalui WhatsApp.