TIKTAK.ID – Keputusan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang bersedia untuk “mandito ratu” di tengah masih banyaknya pemimpin tua berkuasa di partai-partai politik nasional, mulai menuai apresiasi.
Istilah mandito ratu berasal dari khazanah Jawa yang kurang lebih berarti meninggalkan keramaian dunia (lengser kalenggahan) untuk menjadi pandito (empu/resi) di tempat yang jauh dari keramaian.
Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam mengatakan, SBY memilih untuk mandito ratu dengan mengambil jarak dari politik praktis dan memberikan peluang regenerasi kepemimpinan di Partai Demokrat.
“Sering kali, politisi selalu melakukan berbagai macam cara untuk naik meraih kekuasaan, namun setelah kekuasaan dipegang, seringkali mereka lupa cara untuk turun dari tangga kekuasaan,” katanya, Minggu (15/3/20).
Baca juga: Sah Jabat Ketum Demokrat, AHY Bisa Jadi Tren ‘Saatnya Kiprah Anak Muda Mulai Mengemuka’
Tranformasi dan perubahan, kata Umam, merupakan dua kata kunci yang tidak bisa dilepaskan. Untuk memastikan keberlanjutan organisasi, seorang pemimpin harus mampu menjalankan proses kaderisasi secara efektif. Sebab, pemimpin yang sukses adalah pemimpin yang mampu menyiapkan kader penerus yang mampu memastikan mesin politik berjalan efektif.
Mengenai terpilihnya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang notabene anak biologis SBY, Umam mengatakan bahwa politik dinasti merupakan realitas demokrasi yang terjadi di negara maju maupun berkembang.
Halaman selanjutnya…