
TIKTAK.ID – Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) diketahui menyarankan Pemerintah untuk membuat regulasi yang melarang penyebaran paham Wahabi lewat majelis taklim, media online, maupun media sosial di Indonesia.
LD PBNU menilai kelompok yang mengikuti paham Wahabi kerap menuding bid’ah dan gemar mengafirkan tradisi keagamaan yang dilakukan oleh mayoritas umat Islam di Indonesia. Selain itu, LD PBNU mengatakan paham Wahabi tersebut ditengarai menjadi embrio munculnya paham radikalisme, ekstremisme, dan terorisme.
Seperti dilansir CNNIndonesia.com, Wahabi merupakan ideologi keagamaan dari Arab Saudi. Paham tersebut adalah pemikiran Islam dari Muhammad bin Abdul Wahab.
Baca juga : Setelah Ditahan Polri, Bambang Tri Akhirnya Cabut Gugatan Ijazah Palsu Jokowi
Pemikiran yang dibawanya ditujukan bagi pengikut yang berpegang teguh pada purifikasi atau kemurnian Islam ke bentuk asli sesuai teks Alquran dan Hadis. Tentu murni dalam artian mereka sendiri, yakni merasa hanya kelompoknya saja yang Islamnya paling benar.
Jika ditarik sejarahnya, paham Wahabi sendiri berawal dari awal abad ke-18, saat Abdul Wahab mulai menyarankan Saudi ke bentuk Islam yang murni. Menurut Britannica, Abdul Wahab kerap menyampaikan khotbah mengenai ide-ide “radikal” reformasi agama yang konservatif berdasarkan aturan moral yang ketat.
Gerakan Wahabi telah berkembang di dunia Arab seperti Mesir, Iran, hingga Indonesia. Paham Wahabi mencirikan diri sebagai muwahhidin atau unitarian, yaitu istilah yang berasal dari penekanan mereka pada keesaan mutlak Tuhan atau tauhid.
Baca juga : 7 Mantan Kapolri Turun Gunung Temui Listyo Sigit, Ada Apa?
Mereka pun menolak seluruh tindakan yang dianggap menyiratkan kemusyrikan. Di antaranya mengunjungi makam, memuliakan orang suci, dan menganjurkan untuk kembali ke ajaran asli Islam, sebagaimana tercantum dalam Alquran dan Sunnah dengan mengecam semua sumber doktrin lain sebagai bid’ah.
Cendekiawan Muslim, almarhum Azyumardi Azra, melacak awal keterhubungan ajaran Wahabi dengan orang-orang di Sumatera Barat pada 1803 silam. Melalui bukunya “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII” (2013), Azra mengaku paham itu mulai masuk lewat kepulangan tiga orang yang baru pulang ibadah haji pada 1803. Tahun tersebut bersamaan dengan dikuasainya Mekkah oleh kelompok berpaham Wahabi.
Pengaruh tersebut pun tampak dari penentangan terhadap bid’ah, penggunaan tembakau, dan pemakaian baju sutra. Azra menyatakan mereka mulai menyebarkan paham ini di wilayah Minangkabau.