
TIKTAK.ID – Kelompok hak asasi manusia mengatakan bahwa pasukan keamanan Myanmar menembaki para demosntran yang menentang kudeta militer pada Rabu (3/3/21) dan menewaskan setidaknya 18 orang.
Peristiwa itu terjadi setelah negara tetangga menyerukan pengekangan dan membantu Myanmar untuk menyelesaikan krisis.
Saksi mata mengatakan, pasukan keamanan melepaskan sejumlah tembakan peringatan di beberapa kota. Hal itu menandakan tekad junta militer untuk membasmi protes terhadap kudeta 1 Februari yang menggulingkan Pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi.
“Mengerikan, ini pembantaian. Tidak ada kata yang dapat menggambarkan situasi dan perasaan kami,” kata aktivis pemuda Thinzar Shunlei Yi kepada Reuters melalui aplikasi perpesanan.
Seorang Jubir Dewan Militer yang berkuasa tidak menanggapi permintaan komentar atas peristiwa itu.
Sekretaris gabungan kelompok hak asasi Tahanan Politik, Ko Bo Kyi mengatakan dalam sebuah postingannya di Twitter: “Sampai sekarang, militer telah menewaskan sedikitnya 18 orang”.
Di kota utama Yangon, saksi mata mengatakan sedikitnya delapan orang tewas, satu pada pagi hari dan tujuh lainnya ketika pasukan keamanan melepaskan tembakan berkelanjutan dengan senjata otomatis di sebuah lingkungan di utara kota pada sore hari.
“Saya mendengar begitu banyak tembakan terus menerus. Saya tiarap di tanah, mereka terus menembak,” kata pengunjuk rasa Kaung Pyae Sone Tun (23) kepada Reuters.
Seorang pemimpin demonstran, Htut Paing mengatakan rumah sakit di sana telah menginformasikan bahwa tujuh orang telah tewas. Administrator rumah sakit tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar.
Korban sebagian besar terjadi di pusat kota Monywa, di mana enam orang tewas, Monywa Gazette melaporkan.
Sedangkan yang lainnya tewas di berbagai tempat termasuk kota terbesar kedua Mandalay, kota utara Hpakant, dan pusat kota Myingyan.
Sementara dari catatan yang ada, sedikitnya 40 orang tewas sejak kudeta pada 1 Februari lalu.
Pasukan keamanan membubarkan protes di Yangon dan menahan sekitar 300 pengunjuk rasa, kantor berita Myanmar Now melaporkan.
Kekerasan itu terjadi sehari setelah Menteri Luar Negeri dari tetangga Asia Tenggara mendesak pengekangan namun gagal dan menyerukan untuk pembebasan Suu Kyi dan pemulihan demokrasi.
“Negara ini seperti Lapangan Tiananmen di sebagian besar kota,” kata Uskup Agung Yangon, Kardinal Charles Maung Bo, di Twitter, merujuk pada penindasan dengan kekerasan terhadap protes yang dipimpin mahasiswa di Beijing pada 1989.
Myanmar sebagian besar beragama Buddha tetapi memiliki sebagain kecil komunitas Kristen.
Militer membenarkan kudeta tersebut dengan menuduh telah terjadi kecurangan pemilih dalam pemungutan suara 8 November lalu. Partai Suu Kyi menang telak, dan mendapatkan masa jabatan kedua.
Komisi pemilihan mengatakan pemungutan suara itu adil.
Pemimpin Junta, Jenderal Senior Min Aung Hlaing telah berjanji untuk mengadakan pemilihan baru tetapi tidak diberi keterangan kapan hal itu akan dilakukan.
Suu Kyi (75) telah ditahan tanpa komunikasi sejak kudeta terjadi, namun sempat muncul di persidangan pengadilan melalui konferensi video minggu ini dan tampak dalam keadaan sehat, kata seorang pengacaranya.