Mirzam mengatakan hipotesis tersebut berdasarkan peristiwa serupa yang terjadi di tiga gunung api di tiga negara, yakni Gunung Api Miyakejima Jepang (tahun 2000), Gunung Piton de La Fournaise Pulau Reunion (tahun 2007), dan gunung di Kepulauan Mayotte Prancis (tahun 2018).
Dosen Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB itu pun memastikan bahwa hipotesis atau dugaan tersebut masih perlu dikaji dan dibuktikan, apakah dentuman keras misterius tersebut mempunyai hubungan dengan erupsi Gunung Anak Krakatau pada Jumat lalu.
Ia menyatakan letusan Gunung Anak Krakatau termasuk tipe strombolian dan vulkanian yang memiliki energi letusan tergolong rendah hingga sedang. Berdasarkan data Volcanic Explosivity Index (VEI), lanjutnya, Gunung Anak Krakatau memiliki nilai VEI 2-3, artinya tergolong rendah hingga sedang.
Baca juga: Ganjar Bakal Makamkan Jenazah Tenaga Medis Positif Corona di Taman Makam Pahlawan
Mirzam menambahkan, Gunung Anak Krakatau baru muncul ke permukaan sejak tahun 1927. Ia menilai Gunung Anak Krakatau adalah sisa sejarah panjang letusan Krakatau Purba yang berlangsung sejak abad ke-5, hingga letusan pada tahun 1883 yang hanya menyisakan Rakata, Panjang, dan Sertung.
Hampir setiap tahun, kata Mirzam, Gunung Anak Krakatau memperlihatkan aktivitas vulkanisme.
Sejak 2008, pola letusannya pun kini tercatat semakin teratur. Letusan eksplosif dan efusi tersebut datang silih berganti setiap dua tahun sekali dan membentuk sebuah pola, dan sampai saat ini, tingkat aktivitas vulkanis Gunung Anak Krakatau masih tetap pada Level II (Waspada).