
TIKTAK.ID – Seperti diberitakan sebelumnya, sekelompok orang, sebut saja Laskar Intoleran Solo, tiba-tiba datang dan berusaha membubarkan acara Midodareni (doa menjelang prosesi akad nikah dalam tradisi Jawa) yang digelar oleh warga Kecamatan Pasar Kliwon, Solo.
Tiga warga, yang merupakan pihak keluarga tuan rumah penyelenggara acara, menjadi korban penyerangan dan dibawa ke rumah sakit. Selain itu, massa beringas itu juga merusak 5 kendaraan di lokasi.
Pasca-penyerangan Tim Gabungan TNI-Polri berjaga di sekitar lokasi dan terus mengusut pelaku dan provokator dalam peristiwa ini.
Menurut Kapolresta Solo, Kombes Andy Rifai pihaknya telah mengantongi identitas para penyerang yang terjadi pada Sabtu (8/8/20) malam tersebut.
“Akan kita lakukan penegakan hukum. Sudah dilakukan identifikasi dan tim sudah bergerak di lapangan,” kata Kapolresta Surakarta Kombes Andy Rifai pada Minggu (9/8/20).
Peristiwa anarkistis tersebut disesalkan dan dikecam keras oleh banyak pihak. Kali ini, giliran Jaringan GUSDURian, yang secara resmi turut merilis pernyataan sikap sebagai berikut:
Pernyataan Sikap Jaringan GUSDURian
Terkait Penyerangan Keluarga Assegaf di Solo
Kekerasan terhadap warga negara kembali terjadi di Indonesia. Di tengah upaya keras menanggulangi pandemi Covid-19 sebuah peristiwa memilukan terjadi di Solo, Jawa Tengah. Sekitar dua ratus orang menyerang acara Midodareni yang tengah berlangsung di kediaman almarhum Segaf Al-Jufri, Jl. Cempaka No. 81 Kp. Mertodranan Rt 1/1 Kel/Kec. Pasar Kliwon Kota Surakarta. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 8 Agustus 2020 malam.
Midodareni merupakan tradisi yang banyak dilakukan oleh masyarakat Jawa untuk mempersiapkan hari pernikahan. Sebagaimana diberitakan 5news.co.id, ratusan orang tiba-tiba mendatangi lokasi dan memaksa tuan rumah membubarkan acara tersebut.
Mereka juga merusak sejumlah mobil dan memukul beberapa anggota keluarga. Sembari meneriakkan takbir, penyerang meneriakkan bahwa Syiah bukan Islam dan darahnya halal.
Syiah merupakan salah satu mazhab teologi dalam Islam yang telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Di Indonesia, Syiah termasuk dalam kategori kelompok minoritas dan kerap menerima perlakuan diskriminatif.
Tiga orang dilaporkan menjadi korban tindakan brutal kelompok tersebut, sehingga harus menjalani perawatan medis akibat luka-luka yang diderita.
Peristiwa ini menambah catatan buruk intoleransi di Indonesia yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman. Apalagi beberapa waktu yang lalu, peristiwa intoleransi juga terjadi pada masyarakat adat di Kuningan, Jawa Barat.
Hal ini sungguh ironis mengingat Presiden Joko Widodo pernah menyerukan tidak ada tempat bagi intoleransi di Indonesia.
Perlu langkah kongkrit dari berbagai pihak agar tidak ada lagi kasus intoleransi atas nama agama. Oleh karena itu, Jaringan GUSDURian sebagai perkumpulan yang berupaya meneruskan perjuangan KH. Abdurrahman Wahid, pejuang kemanusiaan, menyatakan sikap sebagai berikut.
Pertama, mengutuk peristiwa penyerangan tersebut karena mencederai nilai-nilai kemanusiaan. Kekerasan tidak bisa dibenarkan atas alasan apapun.
Kedua, meminta kepolisian setempat untuk menuntaskan kasus ini melalui mekanisme konstitusi. Sebagai lembaga negara, kepolisian harus menegakkan hukum tanpa mempertimbangkan opsi harmoni sosial yang hanya akan melanggengkan praktik kekerasan di masa mendatang. Pelaku harus dihukum setimpal dengan undang-undang yang berlaku.
Ketiga, meminta kepada pemerintah daerah agar menjamin keamanan warga negara, khususnya yang berstatus sebagai kelompok rentan. Setiap jengkal wilayah Indonesia harus memberikan rasa aman kepada penduduknya. Negara memiliki tugas untuk mewujudkan keamanan bagi warga negara tersebut.
Keempat, meminta tokoh agama setempat untuk bahu membahu menebar gagasan agama yang penuh rahmah. Intoleransi terjadi salah satunya karena adanya ideologisasi nilai-nilai eksklusivisme yang dibalut dengan semangat keagamaan. Padahal sejatinya agama mengajarkan manusia untuk mensyukuri perbedaan sebagai karunia dari Allah SWT.
Kelima, mengajak para GUSDURian dan masyarakat pada umumnya untuk terus merawat semangat “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai warisan para pendiri bangsa.
Sejak didirikan, Indonesia merupakan bangsa majemuk yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, adat istiadat, dan lain sebagainya.
Keenam, menyerukan kepada seluruh warga negara Indonesia untuk tidak menggunakan kekerasan dan ujaran kebencian pada mereka yang berbeda.
Sebagaimana kata Gus Dur, kemajemukan harus bisa diterima tanpa adanya perbedaan.
Yogyakarta, 9 Agustus 2020
Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian
Alissa Wahid
Hotline: 082141232345 (Rifa Mufidah)










