TIKTAK.ID – Sebuah laporan mengungkapkan, pasukan Amerika Serikat beroperasi di 22 negara Afrika, membuat benua itu menjadi jejak militer terbesar kedua Amerika setelah Timur Tengah. Penduduk setempat dan publik Amerika sebagian besar tidak menyadari sejauh mana kehadiran Amerika di Afrika.
Namun, ketika empat anggota militer Amerika terbunuh dalam penyergapan di Niger pada 2017, kabar itu mengejutkan banyak orang, termasuk bahkan anggota Komite Angkatan Bersenjata Senat, yang awalnya tidak menyadari bahwa pasukan Amerika berada di negara Afrika itu.
Pengerahan tentara Amerika ke wilayah Afrika sama menonjolnya seperti sebelumnya, menurut Mail & Guardian Afrika Selatan. Pasukan operasi khusus elite hadir di 22 negara Afrika pada tahun lalu, termasuk dalam misi tempur de facto, kata surat kabar itu, tulis RT News, Kamis (13/8/20).
Masih pada tahun lalu, beberapa pasukan tempur Pentagon yang paling mematikan hadir di Aljazair, Botswana, Burkina Faso, Kamerun, Cape Verde, Chad, Côte D’Ivoire, Djibouti, Mesir, Ethiopia, Ghana, Kenya, Libya, Madagaskar, Mali, Mauritania, Niger, Nigeria, Senegal, Somalia, Tanzania, dan Tunisia.
Dengan sepatu bot mereka menginjak hampir di setengah dari 54 negara benua Afrika, itu artinya benua Afrika mencatat 14 persen dari pasukan aktif Amerika yang beroperasi di luar negeri ada di benua itu. Ini adalah konsentrasi pasukan Amerika terbesar di dunia, dengan pengecualian di Timur Tengah yang lebih luas, tulis laporan itu.
Beberapa misi Amerika di Afrika diklaim bertujuan melatih pasukan lokal, sementara yang lain terlibat dalam pertempuran langsung. Ditandai sebagai “AAA” atau “menasihati, membantu, dan menemani” oleh AFRICOM AS (Komando Afrika-Amerika Serikat), pengerahan pasukan ini bisa sangat berisiko bagi tentara Amerika.
Pada 2017, SEAL Angkatan Laut Amerika tewas di Somalia saat membantu pasukan lokal melancarkan serangan ke sebuah kamp kelompok militan. Pasukan itu mengakui telah melakukan 70 misi serupa di Afrika Timur pada 2018, 46 pada 2019 dan tujuh pada 2020, tepatnya pada awal Juni.
Beberapa pemerintahan yang memilih untuk bekerja sama dengan milter Amerika, diduga menggunakan pelatihan yang mereka dapatkan dari tentara Amerika untuk melakukan kejahatan keji.
Di Burkina Faso, Amerika mengajar pasukan keamanan dalam operasi kontra-pemberontakan. Pada bulan Juli, Human Rights Watch melaporkan bahwa terdapat bukti kuat pasukan Pemerintah terlibat dalam pembunuhan massal di kota Djibo di bagian utara negara itu.
Ada kekhawatiran bahwa bantuan militer berkelanjutan Washington dari Pemerintah otoriter di Afrika dianggap melegitimasi pelanggaran mereka.
Kurangnya transparansi dalam penyebaran informasi di Afrika baik oleh Amerika maupun negara tuan rumah telah berkontribusi pada masalah ini, kata laporan itu.
Pejabat militer Amerika menggembar-gemborkan jejak militernya di Afrika sebagai “simpel dan relatif murah”, mengutip Komandan AFRICOM Jenderal Stephen J. Townsend, dan menuduh negara-negara seperti China dan Rusia ikut campur dalam urusan Afrika.
Pada 2019, Pentagon mempertahankan lebih dari dua lusin pangkalannya di seluruh benua itu. Sementara China memiliki pangkalan tunggal di Djibouti, yang dibuka pada 2017. Sedangkan Rusia tidak memiliki pijakan militer permanen di Afrika, meskipun telah membahas kemungkinan sewa lapangan udara di barat laut Mesir.