TIKTAK.ID – Para pengamat TIK mengaku setuju apabila layanan Over The Top (OTT) video on demand (VoD) seperti Netflix hingga Disney+ Hotstar masuk ke dalam kategori siaran dan diatur oleh negara. Pernyataan tersebut sejalan dengan ahli dari pemohon, Iswandi Syahputra di sidang pengujian materi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran di Mahkamah Konstitusi (MK).
Pengamat TIK dari Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), Nonot Harsono menjelaskan, OTT video streaming harus diatur negara untuk menjaga masyarakat dari tayangan-tayangan berbau negatif seperti sadisme dan pornografi.
“Setuju harus diatur Negara, karena semua sajian yang berasal dari negara lain untuk rakyat indonesia sudah seharusnya sepengetahuan negara. Hal itu juga sebagai wujud pengayoman negara kepada warga negaranya,” tutur Nonot, seperti dilansir CNNIndonesia.com, Jumat (2/10/20).
Nonot menyebut aturan ini harus memastikan bahwa konten yang dikonsumsi rakyat Indonesia adalah sesuatu yang sehat, bermanfaat, dan sejalan dengan moral bangsa. Tidak hanya itu, ia mengatakan siapa pun pihak dari luar negeri yang mendapat manfaat ekonomi di wilayah RI harus memiliki izin dan tunduk serta hormat kepada aturan yang berlaku di Indonesia.
“Semua negara dan semua pihak wajib saling menghormati kedaulatan serta adat istiadat masing-masing,” ucapnya.
Senada dengan Nonot, pengamat TIK dari ICT Institute, Heru Sutadi juga setuju jika OTT video streaming diatur oleh Negara. Sebab, ia menyatakan aturan tersebut mengatur soal konten, perpajakan, serta pengendalian dan layanan tersebut.
“Televisi dan film kita saja ada aturannya dan mekanisme sebelum tayang di bioskop, atau ada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) untuk televisi,” tutur Heru.
Meski begitu, Heru menilai aturan di UU Penyiaran No.32/2002 jelas tidak menyertakan OTT video streaming dalam definisi penyiaran. Pasalnya, uji materi penyiaran yang dimohonkan oleh PT Visi Citra Mulia (iNews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) pada Pasal 1 ayat (2) terkait definisi penyiaran masih terbatas pada media konvensional.
Perlu diketahui, pemohon berpendapat ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) a quo tidak mencakup pada layanan penyiaran berbasis internet dengan banyak platform digitalnya alias layanan OTT.
“Pada 2000-an, OTT video streaming masih belum terpikirkan, sehingga yang diatur adalah penyiaran konvensional dan sifatnya yang analog. Karena itu pula, pernah ada beberapa lembaga penyiaran yang menolak rencana migrasi ke TV digital sebelum UU direvisi,” terang Heru.
Ia pun beranggapan idealnya UU Penyiaran harus segera direvisi total mengikuti perkembangan bisnis OTT video streaming. Ia melanjutkan, revisi total ini harus segera dilakukan, bukan hanya merevisi pada bagian definisi penyiaran.